Friday, December 27, 2013

Menuai Kontroversi, PGRI desak Pemerintah Kaji Ulang Ujian Nasional

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendesak pemerintah untuk mengkaji kembali Ujian Nasional (UN) karena dalam tiap pelaksanaannya selalu menuai kontroversi.

Sejak awal PGRI menilai pelaksanaan UN menuai banyak kontroversi dan tahun 2013 adalah puncak kekacauan UN, kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Sulistiyo kepada wartawan di Jakarta, Jumat. 

"Meski memunculkan kekisruhan pelaksanaan UN di beberapa daerah namun PGRI menyayangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bersikukuh amburadulnya UN akibat kesalahan teknis," katanya.

Lebih lanjut dikatakannya UN yang dibuat oleh banyak pakar itu tahun ini pelaksanaannya sangat kacau. Lembar UN terlambat diterima peserta UN membuat peserta UN tak bisa melaksanaan UN sesuai jadwal.

PGRI yang sejak awal kurang merespons positif UN karena dinilai pelaksanaanya tidak berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dampaknya UN jauh dari harapan bahkan lebih buruk, kata Sulistiyo. PGRI mendukung kebijakan baru dari Kemdikbud yang meniadakan ujian nasional di tingkat sekolah dasarn katanya.

"PGRI mendukung kebijakan itu asal dibarengi dengan menyiapkan guru dengan baik. Jangan sampai terjadi adanya sistem baru tetapi tidak memiliki makna yang baik terhadap upaya peningkatan pendidikan nasional," katanya. 

Dengan dihapusnya UN sekolah dasar akan meningkatkan peran guru dan sekolah di daerah, katanya.[antara/YL/Islamedia]

Friday, December 13, 2013

Ospek dan Rantai Kekerasan di Dunia Pendidikan Kita

Mahasiswa baru ITN tewas saat Ospek (12/10/2013). 
Entah sudah berapa banyak mahasiswa meregang nyawa dari kegiatan tahunan yang dinamakan 'ospek'. Beberapa kampus memang sudah mengubahnya dengan sebutan lain untuk menghilangkan kesan negatif kegiatan tersebut, tapi isinya tetap sama: perpeloncoan dengan bumbu kekerasan!

Pada 12 Oktober lalu, Fikri Dolasmantya Surya (20), mahasiswa baru jurusan Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, meninggal secara tidak wajar di sela-sela ospek perguruan tinggi swasta tersebut. 

Ospek yang diikuti 114 mahasiswa baru itu dikemas dalam Kemah Bakti Desa di Pantai Goa Cina, Dusun Rowotratih, Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten, Malang. Fikri jatuh saat jalan menuju hutan mangrove, sebelum akhirnya dinyatakan tewas.

Karena ada dugaan kekerasan hingga pelecehan seksual dalam kegiatan itu, polisi pun turun tangan. Dan meledaklah kasus ini.

Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) barangkali menjadi kampus yang dikenang publik karena kegiatan pembinaan mahasiswanya (praja) yang sarat kekerasan. Pada 2003, kekerasan di kampus calon pamong praja ini sempat bocor ke publik lewat rekaman video. Isinya jelas mengerikan, bak film kungfu dengan lawan yang tak seimbang.

Sebuah laporan menyebutkan, sejak 1993-2011 sebanyak 21 praja IPDN tewas, termasuk Cilff Muntu. Pada April 2007, Praja Madya itu tewas akibat kekerasan seniornya. Kematian Cliff kala itu mengundang perhatian publik karena kampus mencoba menutupi dengan menyuntikkan formalin ke tubuh pria asal Manado itu.

Jumlah kematian praja IPDN itu juga linear dengan jumlah praja yang dipecat karena berbuat kekerasan. Dalam kurun empat tahun terakhir saja atau dari 2009, Kemendagri sudah memecat sebanyak 45 praja karena kasus kekerasan.

Berikut Foto-foto yang beredar di internet tentang kekerasan yang dilakukan kepada mahasiswa baru ITN beberapa waktu yang lalu.
Pelecehan seksual kepada mahasiswi peserta ospek, tidak bermoral
Mahasiswa baru mendapatkan kekerasan bertubi-tubi
Fikri Dolasmantya Surya akhirnya tewas di tangan Panitia Ospek
Begitulah rantai kekerasan di dunia pendidikan kita. Nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi ruh pendidikan seakan semakin menjauh, dan kini menyisakan darah, lebam dan tubuh anak muda yang tak lagi bernyawa. [merdeka]

Wednesday, December 11, 2013

Kementerian Agama Gelar Apresiasi Pendidikan Islam 2013

Apresiasi Pendidikan Islam. 
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag menggelar Apresiasi Pendidikan Islam (API) 2013. Gelar apresiasi itu sebagai bentuk penghargaan bagi kalangan individu, institusi, dan kelembagaan yang telah memberi kontribusi bagi kemajuan pendidikan Islam.

"Penyelenggaran even API 2013 ini merupakan salah satu upaya menjalin hubungan produktif Kemenag dengan memberi apresiasi kepada mereka yang telah berkontribusi memajukan pendidikan Islam di Tanah Air," kata Sekretaris Dirjen Pendidikan Islam Kemenag,Kamaruddin Amin didampingi pentolan grup band D Massiv Rian Ekkipradipta di kantor Kemenag Jakarta, Rabu (11/12).

Menurut Kamarudin, sebanyak 90 persen pendidikan Islam di tanah air dikelola oleh swasta atau masyarakat sedangkan 10 persennya di kelola oleh Kemenag.

Menurut dia, dengan jumlah sekolah TK atau Raudatul Atfal sebanyak 20 ribu dengan satu juta anak,lalu 8 juta siswa Madrasah tingkat Ibtidaiyah,Tsanawiyah dan Aliyah, ditambah 469 Perguruan Tinggi Islam dengan 700 ribu mahasiswa serta tiga juta santri dari pondok pesantren maka secara kuantitatif telah memberi kontribusi bagi pendidikan bangsa.

"Karena sebagian besar 90 persen swasta dan 10 persen negeri kami patut apresiasi masyarakat sebagai komunitas yang brpartipasi mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi,"ungkapnya.

Pada puncak acara API 2013 yang akan diselenggarakan Jumat tanggal 13 Desember 2013 yang akan dibuka Menteri Agama, penghargaan API keenam tahun ini diberikan antara lain kepada pihak pemerintah daerah yang peduli pada pendidikan islam, dosen berprestasi, institusi atau lembaga pendidikan, dan lain lain.

Dalam acara tersebut Grup Band D'Massiv dengan vokalis Rian Ekkipradipta turut memeriahkan dengan lagu lagu bernuansa religius. Rian mengaku D'Massiv bangga dapat dilibatkan pada API 2013.

"Kami sangat mendukung acara ini semoga akan lahir mereka yang berbudi luhur dan mencerdaskan bangsa ini," kata Rian. [pikran-rakyat]

Friday, November 29, 2013

Guru Jangan Malu Belajar dari Murid

Mencetak sosok guru teladan bukan perkara yang mudah. Banyak faktor yang harus diperhatikan. Faktor tersebut diantaranya adalah sistem yang diterapkan pemerintah maupun dari personal si guru. Motivator pendidikan, Asep Sapa'at, menjelaskan bahwa menciptakan seorang baik yang baik harus adanya sebuah kebijakan visioner dari pemerintah. 

"Cara satu-satunya untuk membuat guru lebih beradab dan berdaya adalah kebijakan visioner. Dari hulu ke hilir dibenahi dan tidak boleh parsial," paparnya ketika berbincang dengan ROL, belum lama ini.

Asep menjelaskan juga harus adanya perekrutan dan pengelolaan yang benar serta tertata. "Rekrutlah pemuda terbaik dengan sistem pengelolaan yang terukur dan sistematis." terang Asep yang juga Direktur Sekolah Guru Indonesia (SGI) ini.

"Juga harus ada pemberian reward dan punishmen yang dilengkapai dengan data yang akurat, pengambilan kebijakan jangan like or dislike. Dengan ini bisa buat potret guru jadi lebih baik," tambahnya.

Selain itu, guna menciptakan guru yang baik juga harus dilihat dari sikap personalnya. Asep mejelaskan ada beberapa Intangible Value (nilai tak berwujud) yang harus dipenuhi. 

Yang pertama, kata dia, adalah niat. " Tujuan harus lurus, luruskan niat. Kalau niatnya cari penghidupan cuma akan dapat angin-angin surga, tapi yg niatnya menjadi guru untuk berbagi manfaaat kehidupan, kebahagian yang sebenarnya akan didapat akan didapat," jelasnya.

Lanjutnya, harus memiliki passion, khususnya didalam belajar mengajar. Ia menjelaskan bahwa seorang guru itu harus terus belajar, bahkan dari seorang murid sekalipun. 

Dan yang terakhir menurut Asep adalah mampu berdiskusi pada diri sendiri. Segi keimanan juga harus bagus, dengan mampu berdiskusi dengan diri sendiri terlebih lagi mengenai dari mana seseorang berasal dan kemana nantinya seseorang akan kembali akan mampu memepertebal baik. Semakin iman seseorang akan membuat seseorang menjadi baik. [ROL]

Tuesday, November 26, 2013

Mendikbud: Pendidikan Harus Maksimalkan Penggunaan TIK

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terus berupaya untuk merealisasikan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Untuk mewujudkan hal tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan membudayakan pemanfaatan TIK dalam proses belajar mengajar.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh saat peluncuran tryout online nasional, di SMAN 4, Denpasar, Bali. "Tiga hal utama yang harus disiapkan adalah pembudayaan pemanfaatan TIK, kemudian penyediaan dan penyempurnaan sarana prasaran, dan ketiga adalah kontennya," ujar Nuh.

Menurutnya, di era saat ini memang sudah sangat wajar jika pembelajaran berbasis teknologi. Dengan menggunakan teknologi, diharapkan akan tercipta kenyamanan dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah sarana prasarana serta infrastruktur pendukung akan teknologi tersebut masih terkendala, khususnya di daerah.

"Oleh karena itu perlu diciptakan IT minded. Setelah itu akan nyaman untuk apapun juga," imbuh mantan Menkominfo itu.

Dikatakan, saat ini pihaknya juga tengah merintis ujian berbasis teknologi. Salah satu hal yang telah dilakukan adalah dengan melakukan uji kompetensi  guru melalui sistem online. "Kita sedang rintis ujian berbasis elektronik," terangnya.

Namun, dirinya belum bisa menjanjikan apakah bisa ujian nasional (UN) juga dilakukan melalui sistem online atau berbasis elektronik. Pasalnya, belum semua daerah dan sekolah terjangkau fasilitas internet.

"Kalau kita terapkan UN berbasis IT pasti akan timbul pro dan kontra. Sekarang saja UN masih ada yang pro kontra, belum lagi soal sarana prasarananya," ungkap Mendikbud.

Lebih lanjut dirinya menjelaskan bahwa pihaknya telah mengambil keputusan untuk tetap melaksanakan UN. Pihaknya, sambung dia, memiliki keyakinan dan analisis akademik untuk tetap menjalankan ujian tersebut. "Analisisnya, jauh lebih bagus kita melakukan UN dibanding tidak menggunakan UN," tegasnya.

Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI, Zulfadli mengatakan, pihaknya masih akan mengundang kementerian untuk meminta evaluasi pelaksanaan UN tahun 2013. "Sampai sekarang belum ada evaluasi kepada komisi. Kami ingin melakukan evaluasi menyeluruh agar kejadian serupa seperti UN tahun ini terjadi lagi," ungkapnya.

Untuk itu dirinya mengatakan perlu adanya persiapan yang lebih matang. "Utamanya untuk masalah-masalah teknis," imbuhnya. [suaramerdeka/SMNetwork]

Wamendikbud: Guru sebagai Penentu Pendidikan Kerkualitas

Wakil menteri Pendidikan dan kebudayaan. 
Jakarta - Peserta didik di manapun berada dan apapun latar belakang sosial dan ekonominy berhak memperoleh pendidikan setinggi mungkin  yang terjangkau dan berkualitas.

"Guru dan tenaga kependidikan menjadi faktor penentunya, sehingga harus kita tingkatkan ketersediaan dan profesionalitasnya," kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan Musliar Kasim.

Wamendikbud mengemukakan hal itu saat membacakan sambutan tertulis Mendikbud Mohammad Nuh pada upacara peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2013 dan HUT ke-68 PGRI di Kemdikbud, Jakarta, Senin (25/11).

Tema peringatan HGN tahun 2013 dan HUT ke-68 PGRI ini adalah “Mewujudkan Guru yang Kreatif dan Inspiratif dengan Menegakkan Kode Etik untuk Penguatan Kurikulum 2013.”

Musliar mengatakan tantangan dan persoalan pendidikan yang dihadapi semakin berat, rumit, dan kompleks.

"Terutama dalam rangka mempersiapkan generasi 2045 pada saat 100 tahun Indonesia merdeka dan kejayaan Indonesia," katanya.

Sekarang ini, lanjut Musliar, Kemdibud sedang menata sistem pendidikan guru, pelatihan berkelanjutan, pelindungan, dan peningkatan kesejahteraan guru. Mendikbud juga memberikan dukungan penuh agar PGRI bisa menjadi organisasi profesi guru yang kuat.

"Kita semua berharap para guru dan tenaga kependidikan kita menjadi pembelajar dan pendidik sejati," katanya.

Musliar mengemukakan bahwa hanya dengan menjadikan guru sebagai pembelajar dan pendidik sejati maka  kurikulum 2013 untuk mempersiapkan generasi 2045 dapat diwujudkan.

"Mereka adalah generasi yang mampu berpikir orde tinggi, kreatif, inovatif, berkepribadian mulia, dan cinta pada tanah air, serta bangga menjadi orang Indonesia," katanya.

Untuk itu, prinsip yang saat ini dikembangkan adalah memberikan layanan pendidikan sedini mungkin (start earlier) melalui gerakan PAUD,  memberikan kesempatan bersekolah setinggi mungkin (stay longer) melalui pendidikan menengah universal (PMU), dan peluasan akses ke perguruan tinggi.

"Selain itu, kita perlu memperluas jangkauan dan menjangkau  mereka yang tidak terjangkau (rich wider) melalui program bantuan siswa miskin (BSM), Bidikmisi, dan sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM3T)," kata Musliar. [antaranews]

Friday, November 15, 2013

Mengkritisi Sekolah Favorit

Oleh : Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

Kata ‘favorit’ meninggalkan kesan berbeda jika disematkan mengiringi kata sekolah. Ya, sekolah favorit, bahan diskusi yang menarik untuk diperbincangkan. Kata ‘sekolah favorit’ mencitrakan sesuatu yang hebat, elegan, mewah, dan sempurna. 

Kesuksesan dan prestasi gemilang menjadi jaminan mutu dan seolah melekat dalam status favorit yang disandang suatu sekolah. Namun di balik itu semua, saya tertarik menelisik apa makna dibalik kata sekolah favorit. Sekolah seperti apa yang layak difavoritkan masyarakat? 

Kadang kita selalu terjebak dalam menilai reputasi sekolah. Semua itu terjadi karena ukuran keberhasilan hanya bersifat populer di mata masyarakat, misalnya persentase kelulusan murid dalam Ujian Nasional, peringkat akreditasi sekolah, jumlah calon murid baru yang mendaftar, keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sains, jumlah piala yang dipajang di sekolah, dan fasilitas yang super fantastis.

Sedangkan pencapaian hasil berbobot edukasi masih jarang dievaluasi, seperti berapa banyak murid yang awalnya malas belajar berubah jadi rajin belajar, berapa banyak murid yang mengalami perubahan perilaku menjadi lebih baik, berapa banyak murid yang mampu berpikir kritis dan kreatif, serta berapa banyak murid yang memiliki kecakapan memecahkan masalah yang bermanfaat dalam kehidupan keseharian mereka. Tragisnya, kata ‘favorit’ masih cukup ampuh mengecoh sebagian besar masyarakat yang hendak mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah. 

Saya mesti berterima kasih kepada Reeves (2006). Siapakah dia? Reeves memiliki sebuah konsep pemetaan kondisi dan posisi sekolah dengan melakukan analisis terhadap 2 hal utama, yaitu analisis terhadap strategi dan tindakan penentu hasil yang sengaja dilakukan sekolah dan tingkat pencapaian hasil yang diraih sekolah. 

Strategi dan hasil pencapaian menjadi fokus utama sekolah dalam membangun reputasinya. Maka segera tanggalkan status ‘favorit’ jika suatu sekolah merasa punya prestasi tapi ternyata tidak melalui proses eksekusi strategi manajemen yang terencana baik.
Ada sekolah yang tampak baik dan punya pencapaian keberhasilan. Tapi jika ditelaah lebih jauh, sekolah seperti ini masih mengabaikan pentingnya kesadaran dan pemahaman atas strategi dan rencana tindakan penentu hasil yang efektif. Sekolah banyak diuntungkan karena memeroleh input siswa yang sangat berkualitas dengan orangtua berstatus sosial ekonomi menengah-atas. Tanpa strategi atau tindakan tertentu yang dirancang secara ‘sengaja’, sekolah sudah tampak berhasil dengan raihan prestasi yang ditorehkan murid dalam berbagai bidang.

Sebagai contoh, sekolah bisa berbangga karena cukup banyak muridnya yang berbahasa Inggris. Inti persoalannya, apakah murid mahir berbahasa Inggris karena hasil proses pembelajaran bahasa yang dirancang sekolah atau faktor les di luar sekolah? Sekolah boleh tercatat sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan 100% pada Ujian Nasional. Lantas, apakah capaian itu merupakan hasil proses pembelajaran yang berkualitas? Ataukah karena sebagian besar para muridnya dipersiapkan lembaga bimbingan belajar di luar sekolah? 

Inilah ‘sekolah beruntung’. Walau tanpa strategi dan tindakan efektif yang terencana, sekolah masih cukup sering memeroleh prestasi. Bolehlah sewaktu-waktu kita berharap keberuntungan. Tapi, sampai kapan kita terus mengandalkan keberuntungan? Jika tak mau ingkar proses, maka sekolah harus mulai menata strategi manajemen untuk meraih pencapaian keberhasilan sekolah. Karena jika pun berhasil, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan semakin kecil jika masih selalu berharap keberuntungan.

Lebih tragis dibanding ‘sekolah beruntung’, ‘sekolah kalah’ mengalami tingkat pencapaian keberhasilan yang rendah. Kegagalan meraih prestasi turut disumbangkan oleh faktor rendahnya pemahaman sekolah atas pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil. Kegagalan demi kegagalan sering dialami sekolah. Sikap menyalahkan aspek eksternal sekolah tampak lebih akrab dijumpai di sekolah ini. 

Mereka lebih fokus mengeluhkan masalah---Misal, kualitas murid-murid barunya yang semakin rendah, jumlah murid semakin berkurang, sulitnya merekrut guru berkualitas, sarana dan prasarana sekolah serba terbatas, banyak muridnya yang bermasalah dalam perilaku-- daripada mulai menata manajemen sekolah yang tanggap mengatasi persoalan yang tengah terjadi. 

Sekolah seperti ini belum memiliki pemahaman dan keterampilan menyusun strategi yang relevan dengan kondisi kekinian dan tuntutan zaman yang terus berubah dengan cepat. Lemahnya komitmen dan konsistensi dalam memperbaiki sistem jadi masalah utama ‘sekolah kalah’. Karena itu pula mereka layak digelari sekolah ‘madesur’, masa depan suram. 

Beda lagi dengan situasi yang terjadi di sekolah berstatus ‘belajar’. Mereka lebih memilih sikap untuk keluar dari keterbatasan yang menimpa sekolah. Sebanyak apapun persoalan yang menimpa sekolah, sebanyak itulah tantangan yang bisa dikelola untuk melahirkan perubahan menuju sekolah yang lebih baik. Sikap mental pemenang yang luar biasa. 

Karena jika pun sekolah lebih memercayai hal-hal negatif yang menimpa, bukankah kita hanya menambah beban dalam kehidupan sekolah? Maka, mulailah melangkah untuk membuat perubahan di sekolah.

Sekolah di kuadran ‘belajar’ mempunyai pemahaman tentang pentingnya strategi yang tepat dan rencana tindakan yang disusun berdasarkan data dan fakta, bukan sekedar intuisi tak berdasar. Semua elemen sekolah—Pengurus yayasan, kepala sekolah, guru, orangtua murid—benar – benar sadar untuk melakukan proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan perbaikan yang berkelanjutan.

Karena hanya dengan cara itu, cita-cita perubahan yang diidamkan sekolah bisa terwujud. Walau tingkat pencapaian keberhasilan belum optimal, namun tingkat pemahaman sekolah atas pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil sangat tinggi. Konsekuensinya, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan sangat besar.

Mungkinkah sekolah sederhana berlokasi di pelosok desa berpeluang menjadi sekolah nasional terbaik? Sangat mungkin. Syaratnya, konsisten menerapkan standar manajemen mutu yang memastikan pencapaian keberhasilan sekolah bisa diukur dan dievaluasi setiap waktu. Tak ada pihak yang meragukan prestasi dan reputasi sekolah karena semua sudah direncanakan dengan sangat baik. 

Apa yang terjadi di kemudian hari? Sekolah di kuadran ‘memimpin’ mengalami tingkat pencapaian hasil yang tinggi serta memiliki pemahaman yang tinggi pula terhadap pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil yang efektif. Sama persis dengan sekolah di kuadran ‘belajar’, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan semakin besar.

Sekolah favorit perlu merenungi kembali sebuah pemikiran hebat bahwa kesuksesan adalah kegagalan. Mengapa demikian? Karena kita menjadi lebih mudah lupa diri ketika berada dalam kondisi sangat sukses. Kesuksesan pada kenyataannya mengembangkan rasa puas diri. Yang paling berbahaya dapat menimbulkan sikap arogansi. Ketika kita benar-benar sukses, sering kali kita jatuh cinta pada diri sendiri. 

Hal yang sama berlaku pada institusi bernama sekolah. Sekolah berhenti berinovasi, bekerja keras, mengambil resiko, dan mulai bersandar pada kesuksesan yang sudah diraih. Sekolah bisa jadi lebih defensif dan menghabiskan banyak energi untuk melindungi kesuksesan mereka, alih-alih mempertahankan hal-hal baik yang mengantarkan sekolah menuju puncak kesuksesan.

Sekolah adalah institusi terhormat yang musti mengedukasi masyarakat. Bukan menipu dan mengaburkan makna ‘favorit’ yang cenderung mengedepankan pencitraan secara sepihak. Jangan gunakan istilah ‘favorit’ untuk sekadar mengeruk keuntungan dari orangtua murid yang awam tentang makna tersebut. 

Berjuanglah menjadi sekolah di kuadran ‘belajar’ dan ‘memimpin’. Itulah cara terbaik membangun reputasi sebagai sekolah yang bisa melayani pendidikan formal bagi masyarakat. Ingatlah, kesuksesan adalah kegagalan. Agar tak merasa sudah di puncak kesuksesan, bertanyalah setiap saat, seberapa pantas sekolah kita digelari sukses dan terfavorit?

---
Sumber: [ROL/berita/pendidikan]

Sunday, November 10, 2013

Kurikulum 2013: Momentum Memuliakan Bahasa Indonesia


Oleh: Ibnu Hamad (Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud)

BAHASA Indonesia terus mendapatkan tempat yang terhormat; merentang dari sebagai pengantar pergaulan (lingua franca) hingga sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan (carrier of knowledge).

Tulisan singkat ini coba merekonstruksi ulang momentum-momentum yang menempatkan bahasa Indonesia dalam kedudukan yang mulia di tengah masyarakat Indonesia.

Sebagai lingua franca bahasa Melayu ketika itu sebelum menjadi bahasa Indonesia, sudah dipakai di Nusantara sejak 1500 sebelum Masehi. Digunakan untuk perdagangan dan hubungan politik. Dapatlah kita membayangkan bahwa pada masa itu para pedagang antar etnis di Nusantara memakai bahasa Indonesia (:bahasa Melayu) manakala melakukan aksi jual beli. Begitu pula utusan raja-raja di Nusantara berbicara dalam bahasa Indonesia (:bahasa Melayu) ketika melaksanakan hubungan diplomatik.

Sesungguhnya sebagai lingua franca bahasa Indonesia masih digunakan dalam masa kini 2000 setelah Masehi di negara kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Seperti dipaparkan dalam Wikipedia, bahasa Melayu dipakai di Indonesia sebagai bahasa Indonesia, Brunei sebagai bahasa resmi, Malaysia sebagai bahasa Malaysia, Singapura sebagai bahasa nasional dan Timor Leste sebagai bahasa kerja. Bahasa ini juga dipakai di Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, dan sebagian kecil Kamboja. Bahkan dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Papua Nugini, Pulau Christmas, Kepulauan Cocos, dan Australia

Ketika kesadaran Nasionalisme tumbuh, lingua franca bahasa Melayu menemukan fungsinya yang lain: menjadi bahasa pergerakan. Penggunaan bahasa Indonesia tidak lagi hanya sebagai alat percakapan antar aktivis, melainkan pula sebagai identitas politik, bahkan alat perjuangan. Bagi bangsa Indonesia, bukan hanya perlu Tanah Air sebagai tempat tinggal, tetapi juga bahasa sebagai alat pemersatu.

Maka kaum pergerakan melahirkan Sumpah Pemuda dengan memasukkan bahasa Indonesia sebagai salah satu unsurnya: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Itulah momentum pertama yang sangat menentukan perjalanan berikutnya bagi bahasa Indonesia dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Benar, Negara Indonesia! Sekalipun pada 28 Oktober 1928 itu bangsa Indonesia belum menyatakan kemerdekaannya, bahasa Indonesia sudah menjadi entitas psikografis Negara Indonesia setara dan sebangun dengan Tanah Air sebagai entitas geografis dan Bangsa untuk entitas demografisnya.

Semenjak itu, bahasa Indonesia semakin mantap menjadi bahasa politik kaum pergerakan. Terus berlanjut ke masa perjuangan kemerdekaan. Menarik, tokoh-tokoh terkemuka pejuang kemerdekaan Indonesia umumnya berpendidikan Barat (Belanda), namun mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam menyampaikan gagasan dan perjuangannya baik dalam tulisan maupun percakapan. Ya, bahasa Indonesia; bukan bahasa Belanda; tidak pula dalam bahasa ibu mereka; tapi bahasa Indonesia!

Sebab itulah kita menjadi paham, mengapa di dalam UUD 1945 pasal 36 dinyatakan bahwa Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Rupa-rupanya tekad menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional itu sudah menjadi agenda para tokoh kemerdekaan kita hingga mereka memasukkannya kedalam dalam batang-tubuh UUD negara kita. Itulah momentum kedua yang menempatkan secara terhormat bahasa Indonesia dalam kehidupan kenegaraan Indonesia.

Di tengah kemajemukan bangsa kita, sudah sepatutnya berterima kasih pada kepada founding fathers kita yang telah menjadikan bahasa Indonesia dalam ketata-negaraan Indonesia. Hal itu telah menyelesaikan, memudahkan dan mencegah munculnya ragam masalah sosial yang diakibatkan oleh bahasa di tengah masyarakat kita.


Perlindungan Hukum

Momentum ketiga terkait dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009. Pada pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Bagian III tentang Bahasa Negara, UU ini mengatur dengan rinci mengenai posisi dan fungsi, pemakaian dan pengembangan, perlindungan dan upaya menginternasionalisasi bahasa Indonesia.

Kendati agak terlambat semenjak Kemerdekaan 1945 –UU tersebut diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009-- pada akhirnya bahasa Indonesia mendapat penguatan di satu sisi dan pengaturan di sisi lain. Dengan adanya UU ini, bahasa Indonesia bukan hanya memperoleh pemuliaan secara politik dalam tata negara Indonesia, tetapi juga perlindungan hukum ketika dipraktikkan dalam kehidupan berbahasa bangsa Indonesia.

Betapa tidak, seperti lazimnya, dalam UU selalu ada hak dan kewajiban juga sanksi hukum. Tentu saja hal ini menguntungkan kita. Sebagai contoh, dalam pasal Pasal 37 ayat 1 dinyatakan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Alhasil, konsumen Indonesia dapat memahami informasinya secara lebih baik sehingga bisa menghindarkan diri dari efek samping suatu produk.

Sebagai bagian dari pemuliaan bahasa Indonesia, sesuai dengan amanat UU Nomor 24 tahun 2009, institusi yang menangani bahasa Indonesia pun diperbesar. Semula, lembaga yang mengurus bahasa Indonesia hanyalah pejabat eselon II yang diketuai oleh seorang Kepala Pusat Bahasa. Namun, semenjak tahun 2010, melalui Permendikbud mengenai organisasi Kemdikbud, lembaga Pusat Bahasa ditingkatkan menjadi Badan Bahasa. Ketuanya pun adalah Kepala Badan Bahasa, dengan jabatan eselon I yang kewenangannya sama dengan para Dirjen di bawah Mendikbud.

Bolehlah dikatakan, penguatan institusi Badan Bahasa ini merupakan momentum yang keempat dalam pemuliaan bahasa Indonesia. Dengan tugas dan fungsi yang lebih luas, kini Badan Bahasa bisa melaksanakan amanat UU Nomor 24 tersebut secara lebih leluasa karena anggarannya pun tentu lebih besar pula dibanding ketika masih Pusat Bahasa.


Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013

Akhinya, momentum paling anyar, yang kelima, dalam memuliakan bahasa Indonesia adalah dengan menjadikannya sebagai penghela ilmu pengetahuan (carrier of knowledge). Adalah Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan pertengahan 15 Juli 2013, yang menjadi pemicu dan pemacunya.

Seperti diketahui, Kurikulum 2013 untuk Sekolah Dasar (SD) tidak lagi berbasis mata pelajaran, melainkan berbasis tema baik tema alam, sosial, maupun tema budaya. Kendati disebutkan ada 6 (enam) mata pelajaran inti untuk SD kita (Agama, PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS), namun dalam pembelajarannya dilakukan secara tematik-terpadu. Materi pelajaran tidak disajikan dalam buku-buku mata pelajaran tetapi dalam bentuk buku tema-tema pelajaran. Tentu semua tema pelajaran itu bukan saja ditulis dalam bahasa Indonesia melainkan pula bahasa Indonesia dijadikan sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan (carrier of knowledge): Bahasa Indonesia tidak semata diajarkan sebagai ilmu pengetahuan tetapi dipraktikkan sebagai penghela ilmu pengetahuan.

Hal ini dilakukan karena Kurikulum 2013 dirancang untuk menyongsong model pembelajaran Abad 21, yang di dalamnya terdapat pergeseran dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu dari berbagai sumber belajar melampaui batas pendidik dan satuan pendidikan. Karenanya peran bahasa menjadi sangat sentral. Karenanya bahasa harus berada di depan semua mata pelajaran lain.

Untuk Kelas VII SMP/MTs Bahasa Indonesia diperlakukan sebagai wahana pengetahuan. Didalamnya dijelaskan berbagai cara penyajian pengetahuan dengan berbagai macam jenis teks. Sedangkan untuk SMA/SMK/MA Kelas X Bahasa Indonesia ditempatkan sebagai wahana untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran. Untuk itu siswa diharapkan mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya.

Dalam pembelajaran bahasa yang berbasiskan teks, bahasa Indonesia diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang berfungsi untuk menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya akademis. Teks dimaknai sebagai satuan bahasa yang mengungkapkan makna secara kontekstual.

Dikatakan dalam prawacana buku bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 tersebut bahwa pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks dilaksanakan dengan menerapkan prinsip bahwa (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena dalam bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia.

Dengan adanya momentum-momentum tersebut, sejak sebagai lingua franca hingga carrier of knowledge, eksistensi kemuliaan bahasa Indonesia tentu terus dapat kita rasakan. Tentu kemuliannya itu akan semakin tinggi lagi jika momentum yang satu ini terjadi: bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa internasional. Bukan hal yang mustahil terjadi: kita tunggu saatnya tiba nanti.

----
Sumber: [nasional/inilah]

Wednesday, November 6, 2013

Perubahan Ujian Nasional untuk Kurikulum 2013 masih Dikaji

Anggota Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Teuku Ramli Zakaria mengatakan perubahan Ujian Nasional (UN) untuk Kurikulum 2013 masih dikaji. Ia mengatakan kajian perubahan tersebut dimulai tahun ini hingga tahun penyelenggaraannya yakni 2016.

"UN untuk Kurikulum 2013 diselenggarakan tahun 2016 bukan 2015. Jadi 2016 akan ada UN yang sesuai dengan Kurikulum 2013," katanya dihubungi Rabu (6/11).

Teuku menuturkan pengkajian UN 2016 tersebut akan diintensifkan pembahasannya tahun depan. Saat ini, menurutnya, mulai dibicarakan bagaimana konsepnya dan unit kerja penyelenggaranya. Teuku mengatakan UN pada tahun ajaran 2015-2016 nanti akan ada perbedaan dengan UN tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan materi kurikulum dan penekanan materi.

Ia mengungkapkan pada Kurikulum 2013 lebih menekankan penilaian sikap dari pada kognitif (pengetahuan). Untuk penilaian sikap tersebut diserahkan pada guru karena guru yang berinteraksi langsung dengan peserta didik sehari-hari. Sedangkan untuk penilaian aspek kognitif, kata dia, tetap menggunakan UN.

"Aspek kognitif pada Kurikulum 2013 perlu diuji. Dan instrumen yang tepat untuk mengujinya adalah UN," katanya.

Teuku mengatakan soal UN terkalibrasi. Hasilnya pun berupa angka yang dapat diperbandingkan. Jika UN dihapuskan maka akan sulit untuk membandingkan kualitas peserta didik.

"Untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu ada instrumen ujian yang terkalibrasi artinya dapat dibandingkan. Dengan UN pencapaian pendidikan dapat dibandingkan dan diukur," ujarnya.

Teuku menyatakan soal UN Kurikulum 2013 nantinya dibuat berdasarkan apa yang siswa temukan, siswa lakukan, dan siswa amati. Menurut dia, soal UN yang diujikan sesuai pengalaman belajar peserta didik.

"Jadi bukan sekedar menguji hafalan mereka saja," ujarnya.

Untuk bentuk soal, lanjut Teuku, kemungkinan tetap pilihan ganda bukan esai. Hal ini dikarenakan jumlah peserta UN yang banyak dan lingkup materi yang diujikan cukup luas. 

"Ini untuk memudahkan dan mengefisienkan waktu pemeriksaan jawaban UN," kata dia.

Teuku mengungkapkan jika soal UN 2016 berbentuk esai, dikhawatirkan  tidak terkoreksi dengan benar dan akan memakan waktu lebih lama dalam pemeriksaan. 

"Soal esai itu cocok jika jumlah peserta dan ruang lingkup ujian sedikit," jelasnya.

Namun, lanjutnya, dalam soal pilihan ganda UN Kurikulum 2013, soal yang ditanyakan yaitu pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan pengalaman belajar siswa dan menguji daya nalar siswa.

"Soal pilihan ganda UN 2016 akan dikompilasikan dengan soal-soal yang tidak hanya menguji hafalan saja," katanya.

----
Sumber: ROL

Kemendikbud akan Ubah Pola Ujian Nasional pada 2015

Surabaya - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan mengubah pola ujian nasional (UN) pada 2015, karena saat itu semua jenjang pendidikan sudah menerapkan Kurikulum 2013.

"Pola UN tidak mungkin diubah sekarang, karena siswa pelaksana Kurikulum 2013 masih belum menjadi peserta UN," kata Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media, Sukemi, di Surabaya, Selasa (5/11).

Di sela-sela focus group discussion (FGD) tentang Kurikulum 2013 dan UN yang diikuti akademisi, praktisi pendidikan, pers, dan pegiat jaringan penulis artikel, ia menjelaskan UN sebagai standar evaluasi akan tetap ada. Hal itu merujuk pada standar evaluasi yang selalu ada pada semua jenis kurikulum pendidikan dan UN juga merupakan amanat UU Sisdiknas yang dapat menjadi ukuran untuk pembanding standar pendidikan dengan negara lain.

"Tapi, pola UN bisa jadi akan disesuaikan dengan Kurikulum 2013 pada saat seluruh siswa sudah menerapkan Kurikulum 2013, sedangkan Kurikulum 2013 saat ini hanya diterapkan pada siswa kelas 1 dan 4 SD, kelas 1 (VII) SMP, dan kelas 1 (X) SMA," paparnya.

Dalam diskusi yang juga diikuti mantan Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitang) Kemdikbud Hari Setiadi itu, ia mengaku belum bisa merinci bentuk perubahan pola UN itu. "Yang jelas, UN saat ini dipakai pemerintah untuk empat fungsi, yakni pemetaan, syarat kelulusan, syarat melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, dan intervensi kebijakan. Pemetaan dan  intervensi kebijakan itu bisa dilakukan kalau ada UN," ujarnya.

Misalnya, ada SMA di Jakarta dengan hanya lima siswa yang semuanya tidak lulus UN, lalu Kemendikbud melakukan intervensi dengan kebijakan merger. "Atau, SMA di NTB yang jeblok pada mata pelajaran Bahasa Inggris, ternyata sekolah itu tidak memiliki guru Bahasa Inggris dan pengajar Bahasa Inggris justru guru bidang studi lain, lalu kami beri guru Bahasa Inggris," katanya.

-----
Sumber: ROL

Thursday, October 24, 2013

Bahasa Indonesia Berpotensi jadi Bahasa Internasional

Bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa pergaulan dunia internasional mendampingi Bahasa Inggris. Karena, saat ini penutur Bahasa Indonesia diperkirakan mencapai 400 juta penutur yang tersebar di 156 negara di dunia.

''Cita-cita besar kami untuk mengangkat Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional disamping Inggris. Tak menutup kemungkinan kalau melihat penuturnya yang sudah 400 juta,'' ujar Hadijah Bte Rahmat.

Hadijah Bte Rahmat, Deputy Head Asian Languages and Cultures (ALC) yang juga berasal dari Asosiasi Profesor National Institute of Education Singapore, mengatakannya kepada wartawan di Seminar Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Kamis (24/10). 

Hadijah mengatakan pada 2015 sudah mulai diberlakukan Asean Economic Community (AEC). Salah satu yang dikukuhkan adalah bidang budaya.

Nantinya, ada bahasa melayu Asean yang bisa digunakan bersama-sama. Semua memiliki cita-cita untuk mengangkat Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional salah satunya melalui karya sastra yang diterjemahkan.

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Mahsun, mengatakan keinginan menginternasionalkan Bahasa Indonesia ini harus diupayakan agar bahasa Indonesia digunakan sebagai ilmu pengetahuan.

Dia menyontohkan Bahasa Latin Yunani yang saat ini digunakan di seluruh dunia sebagai bukti kolonialisasi pengetahuan. ''Kuncinya, ilmu pengetahuan. Lahirkan ilmu dan karya baru,'' katanya.

---
Sumber: ROL

Thursday, September 26, 2013

PGRI: Serahkan Kelulusan Siswa Kepada Guru, Bukan Ujian Nasional

SEMARANG -  Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo menilai kelulusan siswa seharusnya diserahkan kepada guru dan bukan melalui ujian nasional.

"Kami sudah menduga tidak ada perubahan substansial terkait UN," katanya, usai diskusi "Inventarisasi Permasalahan Guru" di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang, Kamis.

Menanggapi pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh bahwa pemerintah tetap akan menyelenggarakan UN pada tahun depan, ia mengatakan bahwa UN jangan sampai mendegradasi prinsip kejujuran.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Tengah itu mengingatkan fungsi sekolah dan guru harus dikembalikan sebagaimana mestinya, termasuk berkaitan dengan penentuan kelulusan siswa.

"Jangan terlalu banyak pihak yang mencampuri urusan UN karena dikhawatirkan akan mengganggu proses pembelajaran di sekolah. Biarkan anak-anak bersaing sportif dan serahkan kelulusan pada guru," katanya.

Sebelumnya, Mendikbud Mohammad Nuh menyatakan pemerintah tetap akan menyelenggarakan UN sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.

"Undang-Undang mengamanatkan pemerintah untuk membuat aturan teknis pelaksanaan. Bagaimana mau evaluasi pengendalian mutu pendidikan secara nasional kalau tidak dilaksanakan secara nasional," katanya, di Jakarta, Rabu (25/9).

Nuh mengemukakan hal tersebut ketika memberikan penjelasan tentang penyelenggaraan Konvensi UN yang akan diselenggarakan di Jakarta pada 26-27 September 2013.
Menurut Mohammad Nuh, UN merupakan masalah akademik namun sering dibawa ke aspek legal.

"Baru kali ini ujian dipersoalkan pakai pengadilan ini cuma di Indonesia saja. Untung MA primernya paham. Artinya UN tetap ada tetapi diperbaiki," katanya.

-----
Sumber: Republika Online

Wednesday, September 25, 2013

Contoh Silabus dan RPP Kurikulum 2013

Salah satu perbedaan yang cukup signifikan antara Kurikulum 2006 (KTSP) dengan Kurikulum 2013 yaitu berkaitan dengan perencanaan pembelajaran. 

Dalam Kurikulum 2006, kegiatan pengembangan silabus merupakan kewenangan satuan pendidikan, namun dalam Kurikulum 2013 kegiatan pengembangan silabus beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu yang secara khusus dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan.

Meski tidak lagi direpotkan membuat silabus sendiri (diambil alih kewenangan guru?), seorang guru tetap saja dituntut untuk dapat memahami seluruh pesan dan makna yang terkandung dalam silabus, terutama untuk kepentingan operasionalisasi pembelajaran. Oleh karena itu, upaya telaah (kajian) silabus tampak menjadi penting, baik dilakukan secara mandiri maupun kelompok (khususnya melalui kegiatan bedah silabus dalam forum MGMP), sehingga diharapkan para guru dapat memperoleh perspektif yang lebih tajam, utuh dan komprehensif dalam memahami  seluruh isi silabus yang telah disiapkan tersebut.

Salah satu perbedaan yang cukup signifikan antara Kurikulum 2006 (KTSP) dengan Kurikulum 2013 yaitu berkaitan dengan perencanaan pembelajaran. Dalam Kurikulum 2006, kegiatan pengembangan silabus merupakan kewenangan satuan pendidikan, namun dalam Kurikulum 2013 kegiatan pengembangan silabus beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu yang secara khusus dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan.

Meski tidak lagi direpotkan membuat silabus sendiri (diambil alih kewenangan guru?), seorang guru tetap saja dituntut untuk dapat memahami seluruh pesan dan makna yang terkandung dalam silabus, terutama untuk kepentingan operasionalisasi pembelajaran. Oleh karena itu, upaya telaah (kajian) silabus tampak menjadi penting, baik dilakukan secara mandiri maupun kelompok (khususnya melalui kegiatan bedah silabus dalam forum MGMP), sehingga diharapkan para guru dapat memperoleh perspektif yang lebih tajam, utuh dan komprehensif dalam memahami  seluruh isi silabus yang telah disiapkan tersebut.

Sementara untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Rencana Kegiatan Harian) tampaknya masih tetap menjadi kewenangan dari guru yang bersangkutan, yaitu dengan berusaha mengembangkan dari Buku Babon (termasuk silabus) yang telah disiapkan pemerintah.
Yang membuat penasaran dan mungkin sering menggoda fikiran kita, kira-kira seperti apakah RPP yang sejalan dengan semangat dan prinsip-prinsip pembelajaran yang dikehendaki oleh Kurikulum 2013?  Saya beruntung menemukan sebuah model RPP yang bisa kita jadikan referensi. Model ini saya peroleh dari komunitas FaceBook Ikatan Guru Indonesia, hasil Seminar Kurikulum 2013 yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) di Surabaya, 17 Maret 2013.
Memperhatikan contoh silabus dan RPP yang diajukan ini, saya melihat ada nuansa yang berbeda dengan RPP yang dikembangkan selama ini, diantaranya:
  • Langkah-langkah pembelajaran tidak lagi mencantumkan secara eksplisit dan detil tentang siklus eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, tetapi telah terbingkai secara utuh, dengan merujuk pada metode pembelajaran yang dipilih.
  • Nilai-nilai dalam pendidikan karakter tidak hanya sekedar “ditempelkan” dalam rumusan tujuan atau langkah-langkah pembelajaran.
  • Dan yang paling utama, pendekatan pembelajaran yang hendak dikembangkan telah menggambarkan sebuah proses pembelajaran yang lebih mengedepankan peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya. Sementara guru  lebih banyak menampilkan perannya sebagai pembimbing dan fasilitator belajar siswa (lihat langkah-langkah dalam kegiatan inti).
Anda ingin mengunduh Model Silabus dan RPP tersebut? Silahkan klik tautan berikut ini: [Contoh Silabus dan RPP Kurikulum 2013]
# Catatan:
Meski model RPP ini untuk kepentingan pembelajaran IPA di SMP,  tetapi saya melihat esensi tentang sistematika penyusunannya (bukan substansi dan sasaran kelasnya) sangat mungkin untuk diadaptasi dalam pembelajaran lainnya. Silahkan telaah lebih lanjut dan mari kita diskusikan dalam forum komentar di bawah ini untuk menyempurnakan dan melengkapinya!
# Update:
Informasi seputar Kurikulum 2013, bisa dilihat dan diunduh melalui tautan berikut ini: [Layanan PTK]


--------
Sumber: [Link website]

Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan.

Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini.

Di lain pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah dianggap sebagai hal yang biasa.

Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya.
Upaya pemberantasan korupsi – yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahan –tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika mahasiswa –sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris masa depan– diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan mahasiswa dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum.

Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Yang tidak kalah penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa harus dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya pembekalan mahasiswa dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain melalui kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar atau perkuliahan. Untuk keperluan perkuliahan dipandang perlu untuk membuat sebuah Buku Ajar yang berisikan materi dasar mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa. Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti korupsi.

Tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan budaya anti korupsi di kalangan mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk dapat berperan serta aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti korupsi.
Buku Ajar Pendidikan Anti Korupsi ini berisikan bahan ajar dasar yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Perguruan Tinggi dan Program Studi masing-masing. Bahan ajar dasar yang dituliskan dalam buku ini terdiri dari delapan bab, yaitu:
  1. Pengertian Korupsi,
  2. Faktor Penyebab Korupsi,
  3. Dampak Masif Korupsi,
  4. Nilai dan Prinsip Anti Korupsi,
  5. Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia,
  6. Gerakan, Kerjasama dan Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi,
  7. Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan, dan
  8. Peranan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi. Disamping delapan bab yang berisikan bahan ajar dasar, buku ini juga dilengkapi dengan panduan pembelajaran yang berjudul Model Pembelajaran Matakuliah Anti Korupsi yang dituliskan dalam bagian I, untuk memudahkan pengajaran Pendidikan Anti Korupsi.
Untuk lebih lengkapnya, Buku Pedoman Pendidikan Anti Korupsi yang diterbitkan oleh DIKTI dapat di unduh pada tautan [di sini]

------
Sumber: [Link website]

Mulailah Pendidikan Antikorupsi di Keluarga dan Sekolah..!

Pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat yang paling dini. Penanaman nilai-nilai antikorupsi harus mulai diberikan kepada anak di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolahnya. Dengan begitu, saat tumbuh dewasa, seseorang sudah paham dengan buruknya tindakan korupsi.

Demikian disampaikan Koordinator Youth Departement Transparency International Indonesia (TII) Lia Toriana saat memaparkan rekomendasi hasil survei yang dirilisnya dalam acara bertajuk "Youth International Conference On Integrity" di Jakarta, Rabu (25/9/2013). 

Sesuai temanya, acara diskusi tersebut dihadiri anak muda yang umumnya adalah mahasiswa-mahasiswi. Dalam survei tersebut, disebutkan bahwa faktor keluarga masih memegang peranan paling penting dalam mempengaruhi pandangan seseorang tentang integritas dan sikap antikorupsi. 

Sebanyak 83 persen responden menganggapnya berpengaruh. Di urutan nomor dua, sebanyak 80 persen responden menganggap sistem pendidikan baik di sekolah ataupun di kampus mempengaruhi pandangan seseorang terhadap integritas dan sikap antikorupsi. 

Hasil survei juga menyebutkan, sebanyak 74 persen responden berpendapat, tingkat integritas juga dipengaruhi oleh teman sepermainan. Selain itu, 66 persen responden berpendapat tokoh/pemimpin turut memengaruhi, dan sisanya selebriti dunia hiburan sebesar 33 persen. 

"Ini menunjukkan kalau pendidikan antikorupsi ini harus dimulai sedini mungkin," kata Lia. 

Menurutnya, orangtua harus menjadi contoh yang baik terhadap anaknya. Orangtua tidak boleh mencontohkan perbuatan-perbuatan koruptif, sekecil apapun perbuatan itu. Sekolah dan perguruan tinggi, menurutnya, juga harus mulai mengajarkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak didiknya. 

Survei dilakukan di DKI Jakarta pada periode bulan Juli 2012-Desember 2012. Sampel adalah anak muda yang berusia 15 sampai 30 tahun. Metode penelitian ini menggabungkan dua metode, yaitu kuantitatif dan kualitatif. 

Metode kuantitatif dilakukan di 50 kelurahan di lima wilayah DKI Jakarta, sementara metode kualitatif dilakukan dengan Focus Group Discussion (FGD). Margin of error penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95 persen, berada di bawah 2.5 persen.

----
Sumber: [kompas]

Monday, September 16, 2013

Ada 6 Perubahan pada Kurikulum 2013 dibanding Kurikulum Lama

Kurikulum 2013 mulai diterapkan secara bertahap mulai pada tahun ini (2013). Ada 6 perbedaan Kurikulum 2013 dibanding kurikulum lama. Apa saja?

"Sedikitnya, ada enam perubahan yang dapat dilakukan bersamaan dengan penerapan Kurikulum 2013," demikian rilis Kemendikbud yang disampaikan Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemendikbud, Ibnu Hamad, Minggu (14/7/2013).

Pertama, terkait dengan penataan sistem perbukuan. 

Lazim berlaku selama ini, buku ditentukan oleh penerbit, baik menyangkut isi maupun harga, sehingga beban berat dipikul peserta didik dan orang tua. Menyangkut isi, karena keterbatasan wawasan dan kepekaan para penulis, kegaduhan terhadap isi buku pun sering terjadi. Kejadian terakhir di Kabupaten Bogor pada buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas 6 SD (Cerita porno, red).

Penataan sistem perbukuan dalam implementasi Kurikulum 2013 dikelola oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan dan substansinya diarahkan oleh tim pengarah dan pengembang kurikulum. Tujuannya agar isi dapat dikendalikan dan kualitas lebih baik. Selain itu, harga bisa ditekan lebih wajar (public awareness).

Kedua, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di dalam penyiapan dan pengadaan guru. 

Ketiga, penataan terhadap pola pelatihan guru.

Pengalaman pada pelaksanaan pelatihan instruktur nasional, guru inti, dan guru sasaran untuk implementasi Kurikulum 2013, misalnya, banyak pendekatan pelatihan yang harus disesuaikan, baik menyangkut materi pelatihan maupun model dan pola pelatihan.

Momentum Kurikulum 2013 adalah hal yang tepat untuk melakukan penataan terhadap pola pelatihan guru termasuk penjenjangan terhadap karir guru dan kepangkatannya.

Ke depan, sedang disiapkan konsep yang terintegrasi antara jenjang karier dan kepangkatan dengan penilaian profesi guru. Selama ini keduanya terpisah.

Keempat, memperkuat budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK).

Kelima, terkait dengan memperkuat NKRI. Melalui kegiatan ekstrakurikuler kepramukaanlah, peserta didik diharapkan mendapat porsi tambahan pendidikan karakter, baik menyangkut nilai-nilai kebangsaan, keagamaan, toleransi dan lainnya.

Keenam, ini juga masih terkait dengan hal kelima, memperkuat integrasi pengetahuan-bahasa-budaya. 

Pada Kurikulum 2013, peran bahasa Indonesia menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik, sehingga bahasa berkedudukan sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain.

Kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui cara ini, maka pembelajaran bahasa Indonesia termasuk kebudayaan, dapat dibuat menjadi kontekstual. Sesuatu yang hilang pada model pembelajaran bahasa Indonesia saat ini.

"Dari efek domino itulah maka Kurikulum 2013 adalah bagian tidak terpisahkan untuk menata berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sektor pendidikan. Karena itu, Kurikulum 2013 sesungguhnya bukan kurikulum program kementerian, tetapi kurikulum yang menjadi program pemerintah," demikian rilis Kemendikbud. [detik]

Federasi Serikat Guru Indonesia nilai Larangan Pakai Motor ke Sekolah Sulit Diterapkan

Jakarta -  Siswa DKI Jakarta dilarang menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah.  Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menilai aturan tersebut sulit diterapkan karena persoalannya tidak berdiri sendiri. 

''Kebijakan Pemprov DKI Jakarta mengubah jam masuk sekolah lebih pagi menjadi 6.30 WIB mendorong para siswa menggunakan motor,'' ujar Retno kepada Republika, Jumat (13/9).

Menurut Retno, banyak anak sekolah yang terpaksa berangkat menggunakan motor. Karena, di jam sekolah tersebut  jarang ada angkot yang beroperasi. Bahkan, mungkin belum ada angkot yang beroperasi karena terlalu pagi. 

''Jadi, motor menjadi alternatif yang paling memungkinkan agar mereka tidak terlambat tiba di sekolah,'' katanya. 

Selain itu, kata dia, polisi lalu lintas di pagi hari belum ada di jalan. Jadi, para siswa ini kerap tidak menggunakan kelengkapan kendaraan dan juga ngebut karena mengejar waktu.
''Hal ini juga sangat berisiko tinggi mengalami kecelakaan lalu lintas,'' kata Retno.

Selain itu, menurut Retno, pihak sekolah juga menerapkan hukuman bagi para siswa yang datang terlambat ke sekolah. Hal ini, memicu para siswa memilih naik kendaraan bermotor roda dua dengan alasan kepraktisan. 

''Kalau naik angkot kan sering ngetem dan membuat para siswa terlambat tiba di sekolah,'' katanya.

Retno mengatakan, para orang tua siswa juga mendorong anak-anaknya naik motor karena mereka rata-rata bekerja. Jadi,  tak sempat mengantar anak-anaknya ke sekolah. ''Ya pilihannya,  mereka membelikan anak-anknya kendaraan bermotor roda dua,'' imbuhnya. [ROL]

Mahasiswa UMY jadikan Alquran untuk Terapi Kesehatan

Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Harto Andi Irawan menjadikan Alquran untuk terapi kesehatan bagi pasien rumah sakit di Yogyakarta. 

Membaca Alquran secara tartil dapat menjadi salah satu cara untuk menurunkan skala nyeri pada ibu pasca melahirkan secara cesar.

Mahasiswa UMY ini membacakan ayat Alquran selama 10 menit pada 31 pasien di RS Nur Hidayah, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Hasilnya 16 dari 31 pasien yang dijadikan sampel di rumah sakit Nur Hidayah tersebut mengalami penurunan dari berbagai skala nyeri setelah menjalani operasi cesar. Nyeri tersebut ternyata dapat dihambat oleh adanya rangsangan syaraf lain yang lebih kuat.

“Ketika membaca Al-Qur’an tubuh melibatkan tiga jenis syaraf yaitu nervus optikus untuk membaca ayat, untuk menyuarakan, dan nervus vestibulocochlearis untuk mendengarkan sehingga rasa nyeri yang diterima otak berkurang,” paparnya, Ahad (15/9).

Hasil penelitian mahasiswa UMY angkatan 2009 ini bahkan diikutkan dalam International Confrence on Cross Cultural Collaboration in Nursing for Sustainable Development pada 9-10 September lalu di Bangkok, Thailand. Andi bahkan diundang untuk memaparkan hasil penelitiannya tersebut di ajang bergengsi ini.

"Saya bangga, karena penelitian saya disejajarkan dengan penelitian S2 dan S3 hanya empat orang pemapar makalah yang masih S1," ujarnya.

Diakuinya, para peserta konferensi yang mayoritas non muslim justru tertarik dengan hasil penelitian mahasiswa UMY ini.

Menurut Kepala Humas dan Protokol UMY, Ratih Herningtyas, selain Andi, ada tiga mahasiswa UMY yang juga diberi kesempatan melakukan presentasi penelitian yang digelar Christian University of Thailand didukung oleh Azusa Pacific University of California serta Kimyung University. 

Ketiga mahasiswa UMY ini adalah Umi Fidela, Tri Hisnawati B, dan Agung Prasetyo Wibowo juga turut mempresentasikan penelitiannya. "Empat orang mahasiswa itu menjadi satu-satunya peserta asal Indonesia pada konfrensi tersebut.," ujarnya. [ROL]

Tuesday, September 10, 2013

Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah

Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. 
FIS Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dapat menghasilkan insan-insan yang memiliki karakter mulia, di samping memiliki kemampuan akademik dan keterampilan yang memadai. Salah satu cara untuk mewujudkan manusia yang berkarakter adalah dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran. Nilai-nilai karakter utama yang harus terwujud dalam sikap dan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter adalah jujur (olah hati), cerdas (olah pikir), tangguh (olah raga), dan peduli (olah rasa dan karsa). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai karakter dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu guru harus mempersiapkan pendidikan karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu didukung oleh keteladanan guru dan orang tua murid serta budaya yang berkarakter. 


# PENDAHULUAN

Pendidikan adalah sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia dalam rangka memperoleh ilmu yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku. Karena itu, pendidikan merupakan salah satu proses pembentukan karakter manusia. Pendidikan bisa juga dikatakan sebagai proses pemanusiaan manusia. Dalam keseluruhan proses yang dilakukan manusia terjadi proses pendidikan yang akan menghasilkan sikap dan perilaku yang akhirnya menjadi watak, kepribadian, atau karakternya. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan.

Pendidikan juga merupakan usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.

Sejalan dengan laju perkembangan masyarakat, pendidikan menjadi sangat dinamis dan disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Kurikulum pendidikan bukan menjadi patokan yang baku dan statis, tetapi sangat dinamis dan harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam rangka ini reformasi pendidikan menjadi urgen agar pendidikan tetap kondusif. Reformasi pendidikan harus terprogram dan sistemik. Reformasi terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan, misalnya dengan melakukan inovasi pendidikan. Inovasi dilakukan dengan memperkenalkan ide baru, metode baru, dan sarana prasarana baru agar terjadi perubahan yang mencolok dengan tujuan dan maksud tertentu. Adapun reformasi sistemik terkait dengan hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Reformasi sistemik menyatukan inovasi-inovasi yang dilakukan di dalam sekolah dan di luar sekolah secara luas (Zainuddin, 2008: 33-34).

Beberapa tahun terakhir pendidikan kita telah mengalami perubahan kurikulum seperti diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 yang disusul dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Di samping itu, juga telah dilakukan berbagai inovasi dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (lihat bab 2 pasal 3). Salah satu bentuk inovasi ini adalah dicanangkannya pendidikan karakter bangsa melalui berbagai proses pendidikan. Dari fungsi dan tujuan yang ingin dicapai, pendidikan karakter tidak hanya merupakan inovasi pendidikan, tetapi juga merupakan reformasi pendidikan yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan dengan benar serta melibatkan setiap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, harus dirancang dan diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka pembentukan karakter peserta didik sehingga beragama, beretika, bermoral, dan sopan santun dalam berinteraksi dengan masyarakat, maka pendidikan harus dipersiapkan, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan baik dan harus mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya guna mewujudkan insan-insan Indonesia yang berkarakter mulia.

Pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Inilah rancangan pendidikan karakter (moral) yang oleh Thomas Lickona disebut moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona, 1991: 51). Karena itulah, semua mapel yang dipelajari oleh peserta didik di sekolah harus bermuatan pendidikan karakter yang bisa membawanya menjadi manusia yang berkarakter seperti yang ditegaskan oleh Lickona tersebut.


# KAJIAN TEORI

Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter Istilah karakter adalah istilah yang baru digunakan dalam wacana Indonesia dalam lima tahun terakhir ini. Istilah ini sering dihubungkan dengan istilah akhlak, etika, moral, atau nilai. Karakter juga sering dikaitkan dengan masalah kepribadian, atau paling tidak ada hubungan yang cukup erat antara karakter dengan kepribadian seseorang.

Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan demikian, karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang yang menjadi dasar untuk membedakan seseorang dari yang lainnya.

Dengan makna seperti itu karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir (Doni Koesoema, 2007: 80). Seiring dengan pengertian ini, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa baik buruknya karakter manusia sudah menjadi bawaan dari lahir. Jika bawaannya baik, manusia itu akan berkarakter baik, dan sebaliknya jika bawaannya jelek, manusia itu akan berkarakter jelek. Jika pendapat ini benar, pendidikan karakter tidak ada gunanya, karena tidak akan mungkin merubah karakter orang yang sudah taken for granted. Sementara itu, sekelompok orang yang lain berpendapat berbeda, yakni bahwa karakter bisa dibentuk dan diupayakan sehingga pendidikan karakter menjadi bermakna untuk membawa manusia dapat berkarakter yang baik.

Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Karakter mulia (good character), dalam pandangan Lickona, meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

Dalam proses perkembangan dan pembentukannya, karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Secara psikologis perilaku berkarakter merupakan perwujudan dari potensi Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural pada akhirnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yakni 1) olah hati (spiritual and emotional development), 2) olah pikir (intellectual development), 3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan 4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Keempat proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka pembentukan karakter dan perwujudan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang (Kemdiknas, 2010: 9-10).

Secara mudah karakter dipahami sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Secara koheren, karakter memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Pemerintah RI, 2010: 7).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Menurut Ahmad Amin (1995: 62) bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).

Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991) yang kemudian disusul oleh tulisan-tulisannya seperti The Return of Character Education yang dimuat dalam jurnal Educational Leadership (November 1993) dan juga artikel yang berjudul Eleven Principles of Effective Character Education, yang dimuat dalam Journal of Moral Volume 25 (1996). Melalui buku dan tulisan-tulisannya itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurutnya, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51).

Di pihak lain, Frye (2002: 2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share”. Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang menjadikan sekolah (institusi pendidikan) sebagai agen untuk membangun karakter peserta didik melalui pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter sekolah harus berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilai-nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, jujur, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga harus mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan perilaku yang tercela dan dilarang.

Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.

Nilai-Nilai Dasar dalam Pendidikan Karakter Pemerintah Indonesia telah merumusan kebijakan dalam rangka pembangunan karakter bangsa. Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 ditegaskan bahwa karakter merupakan hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan, olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif, olah raga terkait dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas, serta olah rasa dan karsa berhubungan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan (Pemerintah RI, 2010: 21).

Nilai-nilai karakter yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing-masing bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik; 
  2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif; 
  3. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih; dan 
  4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.


Dari nilai-nilai karakter di atas, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan karakter di kalangan peserta didik di sekolah, yakni jujur (dari olah hati), cerdas (dari olah pikir), tangguh (dari olah raga), dan peduli (dari olah rasa dan karsa).

Dengan demikian, ada banyak nilai karakter yang dapat dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada peserta didik.

Direktorat Pembinaan SMP Kemdiknas RI mengembangkan nilai-nilai utama yang disarikan dari butir-butir standar kompetensi lulusan (Permendiknas No. 23 tahun 8 2006) dan dari nilai-nilai utama yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Depdiknas RI (Pusat Kurikulum Kemdiknas, 2009). Dari kedua sumber tersebut nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah: 
  1. Kereligiusan, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya. 
  2. Kejujuran, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain. 
  3. Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat. 
  4. Ketangguhan, yakni sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan. 
  5. Kedemokratisan, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 
  6. Kepedulian, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya. 
  7. Kemandirian, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 
  8. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. 
  9. Keberanian mengambil risiko, yakni kesiapan menerima risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata. 
  10. Berorientasi pada tindakan, yakni kemampuan untuk mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata. 
  11. Berjiwa kepemimpinan, yakni kemampuan mengarahkan dan mengajak individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan berpegang pada asas-asas kepemimpinan berbasis budaya bangsa. 
  12. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya. 
  13. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan YME. 
  14. Gaya hidup sehat, yakni segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. 
  15. Kedisiplinan, yakni tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 
  16. Percaya diri, yakni sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya. 
  17. Keingintahuan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 
  18. Cinta ilmu, yakni cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. 
  19. Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, yakni sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain. 
  20. Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, yakni sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum. 
  21. Menghargai karya dan prestasi orang lain, yakni sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. 
  22. Kesantunan, yakni sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang. 
  23. Nasionalisme, yakni cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
  24. Menghargai keberagaman, yakni sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
D24 nilai dasar karakter di atas, guru (pendidik) dapat memilih nilai-nilai karakter tertentu untuk diterapkan pada peserta didik disesuaikan dengan muatan materi dari setiap mata pelajaran (mapel) yang ada. Guru juga dapat mengintegrasikan karakter dalam setiap proses pembelajaran yang dirancang (skenario pembelajaran) dengan memilih metode yang cocok untuk dikembangkannya karakter peserta didik.

# PEMBAHASAN 

Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti (pendidikan karakter), terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah: 
  1. Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran. 
  2. Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik. 
  3. Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
Dari ketiga bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung bersentuhan dengan aktivitas pembelajaran sehari-hari adalah pengintegrasian pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Pengintegrasian pendidikan karakter melalui proses pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah sekarang menjadi salah satu model yang banyak diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pendidik karakter (character educator). Semua mata pelajaran juga disasumsikan memiliki misi dalam membentuk karakter mulia para peserta didik (Mulyasa, 2011: 59)

Di samping model ini, ada juga model lain dalam pendidikan karakter di sekolah, seperti model subject matter dalam bentuk mata pelajaran sendiri, yakni menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajatan tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan tersendiri mengenai standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, silabus, RPP, bahan ajar, strategi pembelajaran, dan penilaiannya di sekolah. Model ini tidaklah gampang dan akan menambah beban peserta didik yang sudah diberi sekian banyak mata pelajaran. Karena itulah, model integrasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran dinilai lebih efektif dan efisien dibanding dengan model subject matter.

Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Tahap-tahap ini akan diuraikan lebih detail berikut ini.

1. Tahap Perencanaan

Pada tahap perencanaan yang mula-mula dilakukan adalah analisis SK/KD, pengembangan silabus berkarakter, penyusunan RPP berkarakter, dan penyiapan bahan ajar berkarakter. Analisis SK/KD dilakukan untuk mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang secara substansi dapat diintegrasikan pada SK/KD yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa identifikasi nilai-nilai karakter ini tidak dimaksudkan untuk membatasi nilai-nilai yang dapat dikembangkan pada pembelajaran SK/KD yang bersangkutan. Guru dituntut lebih cermat dalam memunculkan nilai-nilai yang ditargetkan dalam proses pembelajaran.

Secara praktis pengembangan silabus dapat dilakukan dengan merevisi silabus yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menambah komponen (kolom) karakter tepat di sebelah kanan komponen (kolom) Kompetensi Dasar atau di kolom silabus yang paling kanan. Pada kolom tersebut diisi nilai(-nilai) karakter yang hendak diintegrasikan dalam pembelajaran. Nilai-nilai yang diisikan tidak hanya terbatas pada nilai-nilai yang telah ditentukan melalui analisis SK/KD, tetapi dapat ditambah dengan nilai-nilai lainnya yang dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran (bukan lewat substansi pembelajaran). Setelah itu, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan/atau teknik penilaian, diadaptasi atau dirumuskan ulang dengan penyesuaian terhadap karakter yang hendak dikembangkan. Metode menjadi sangat urgen di sini, karena akan menentukan nilai-nilai karakter apa yang akan ditargetkan dalam proses pembelajaran.

Sebagaimana langkah-langkah pengembangan silabus, penyusunan RPP dalam rangka pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran juga dilakukan dengan cara merevisi RPP yang telah ada. Revisi RPP dilakukan dengan langkah-langkah: 
  • Rumusan tujuan pembelajaran direvisi/diadaptasi. Revisi/adaptasi tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) rumusan tujuan pembelajaran yang telah ada direvisi hingga satu atau lebih tujuan pembelajaran tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif dan psikomotorik, tetapi juga afektif (karakter), dan (2) ditambah tujuan pembelajaran yang khusus dirumuskan untuk karakter. 
  • Pendekatan/metode pembelajaran diubah (disesuaikan) agar pendekatan/metode yang dipilih selain memfasilitasi peserta didik mencapai pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan, juga mengembangkan karakter. 
  • Langkah-langkah pembelajaran juga direvisi. Kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam setiap langkah/tahap pembelajaran (pendahuluan, inti, dan penutup), direvisi atau ditambah agar sebagian atau seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap tahapan memfasilitasi peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan dan mengembangkan karakter. Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning), pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning), dan pembelajaran aktif (misal: PAIKEM/Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) cukup efektif untuk mengembangkan karakter peserta didik. 
  • Bagian penilaian direvisi. Revisi dilakukan dengan cara mengubah dan/atau menambah teknik-teknik penilaian yang telah dirumuskan. Teknik-teknik penilaian dipilih sehingga secara keseluruhan teknik-teknik tersebut mengukur pencapaian peserta didik dalam kompetensi dan karakter. Di antara teknik-teknik penilaian yang dapat dipakai untuk mengetahui perkembangan karakter adalah observasi, Penilaian kinerja, penilaian antar teman, dan penilaian diri sendiri. Nilai karakter sebaiknya tidak dinyatakan secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif, misalnya:
  1. BT: Belum Terlihat,apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator. 
  2. MT: Mulai Terlihat,apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda  awal  perilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  tetapi belum konsisten. 
  3. MB: Mulai Berkembang,apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten. 
  4. MK: Menjadi Kebiasaan atau membudaya, apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan  perilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  secara konsisten (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
  • Bahan ajar disiapkan. Bahan ajar yang biasanya diambil dari buku ajar (buku teks) perlu disiapkan dengan  merevisi  atau menambah  nilai-nilai  karakter ke dalam pembahasan  materi  yang ada di dalamnya. Buku-buku yang ada selama ini meskipun telah memenuhi  sejumlah  kriteria kelayakan buku  ajar,  yaitu kelayakan isi,  penyajian,  bahasa,  dan  grafika,  akan  tetapi materinya  masih belum secara memadai mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan embelajaran dengan berpatokan pada kegiatan kegiatan pembelajaran pada buku-buku  tersebut,  pendidikan  karakter  secara memadai belum berjalan. Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambah kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. Cara lainnya adalah dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan belajar pada buku ajar yang dipakai. Selain  itu, adaptasi dapat dilakukan dengan merevisi substansipembelajarannya.
2.  Pelaksanaan Pembelajaran

Kegiatan  pembelajaran  dari  tahapan  kegiatan  pendahuluan,  inti, dan penutup dipilih  dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan  diaplikasikan  pada semua  tahapan pembelajaran karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai karakter pada peserta didik. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik.

Dalam  pembelajaran  ini  guru  harus  merancang  langkah-langkah  pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik aktif dalam prosesmulai dari pendahuluan, inti, hingga penutup. Guru dituntut  untuk menguasai berbagai metode, model, atau strategi pembelajaran aktif sehingga langkah-langkah pembelajaran dengan mudah disusun dan dapat dipraktikkan dengan  baik dan benar. Dengan  proses seperti  ini  guru  juga  bisa melakukan pengamatan sekaligus melakukan evaluasi (penilaian) terhadap proses yang terjadi, terutama terhadap karakter peserta didiknya.

3.  Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi  atau  penilaian  merupakan  bagian  yang  sangat  penting  dalam  proses pendidikan. Dalam pendidikan karakter, penilaian harus dilakukan dengan baik dan benar. Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif peserta didik, tetapi juga pencapaian afektif dan psikomorotiknya. Penilaian karakter lebih mementingkan pencapaian afektif dan psikomotorik peserta didik dibandingkan pencapaian kognitifnya. Agar hasil penilian yang dilakukan guru bisa benar dan objektif, guru harus memahami prinsip-prinsip  penilaian  yang  benar  sesuai  dengan  standar  penilaian  yang sudah ditetapkan oleh para ahli penilaian. Pemerintah (Kemdiknas/Kemdikbud) sudah menetapkan Standar Penilaian Pendidikan yang dapat  dipedomani  oleh  guru  dalam melakukan penilaian di sekolah, yakni Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Dalam standar ini banyak teknik dan bentuk penilaian yang ditawarkan untuk melakukan penilaian, termauk dalam penilaian karakter. Dalam penilaian karakter, guru hendaknya membuat instrumen penilaian yang dilengkapi dengan rubrik penilaian untuk menghindari penilaianyang subjektif, baik dalam bentuk instrumen penilaian pengamatan (lembar pengamatan) maupun instrumen penilaian skala sikap (misalnya skala Likert).


# SIMPULAN

Jika  pelaksanaan  pendidikan  karakter  di  sekolah  sebagai  bagian  dari  reformasi pendidikan,  maka reformasi  pendidikan  karakter  bisa diibaratkan  sebagai  pohon  yang memiliki empat bagian penting, yaitu akar, batang, cabang dan daun. Akar reformasi adalah landasan filosofis (pijakan) pelaksanaan pendidikan karakter harus jelas dan dipahami oleh masyarakat penyelenggara dan pelaku pendidikan. Batang reformasi berupa mandat dari pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggara pendidikan nasional. Dalam hal ini standar dan tujuan dilaksanakannya pendidikan karakter harus jelas, transparan, dan akuntabel. Cabang reformasi  berupa  manajemen pengelolaan pendidikan karakter, pemberdayaan guru, dan pengelola pendidikan harus ditingkatkan.

Sedang  daun  reformasi  adalah  adanya  keterlibatan  orang  tua  peserta  didik  dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang didukung pula dengan budaya dan  kebiasaan  hidup masyarakat yang kondusif yang sekaligus menjadi teladan bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Keempat pilar reformasi pendidikan karakter di atassaling terkait dan jika salah satunya tidak maksimal  akan dapat mengganggu pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah  dan  institusi pendidikan lainnya. Karena itulah, pelaksanaan pendidikan karakter harus dipersiapkan dengan baik dan  melibatkan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaannya serta harus dilakukan evaluasi yang berkesinambungan.

Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia  adalah  Pancasila, sehingga pendidikan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dan yang tidak kalah pentingnya, sebagai bangsa yang beragama, pengembangan karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari ajaran agamanya. Karena itulah, pendidikan karakter yang religius (religious based character) harus didasarkan pada nilai-nilai karakter yang terkandung dalam keseluruhan ajaran agama yang dianut peserta  didik. Pengembangan karakter di sekolah  menjadi  sangat penting  mengingat di sinilah peserta  didik  mulai  berkenalan dengan berbagai bidang kajian keilmuan. Pada masa ini pula peserta didik mulai sadar akan jati dirinya sebagai manusia yang mulai beranjak dewasa dengan berbagai problem yang menyertainya. Dengan berbekal nilai-nilai karakter mulia yang diperoleh melalui proses  pembelajaran di kelas  dan di luar kelas, peserta didik diharapkan menjadi manusia yang berkarakter sekaligus memiliki ilmu pengetahuan yang siap dikembangkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.


# DAFTAR PUSTAKA
  1. Ahmad  Amin.  1995.  Etika  (Ilmu  Akhlak).  Terj.  oleh  Farid  Ma’ruf.  Jakarta:  Bulan Bintang. Cet. VIII. 
  2. Dit PSMP Kemdiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajarandi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas. 
  3. Doni  Koesoema  A.  2007.  Pendidikan  Karakter:  Strategi  Mendidik  Anak  di  Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I. 
  4. Echols, M. John & Shadily, H. 1995. Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia. Cet. XXI. 
  5. Frye, Mike at all. (Ed.) 2002. Character Education: Informational Handbook and Guide for Support  and  Implementation  of  the  Student  Citizent  Act  of  2001.  North Carolina: Public Schools of North Carolina. 
  6. Kemdiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. 
  7. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility.  New  York,  Toronto,  London,  Sydney,  Aucland:  Bantam books. 
  8. Mulyasa, H.E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. 
  9. Pemerintah  Republik  Indonesia.  2010.  Kebijakan  Nasional  Pembangunan  Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas. 
  10. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  23  Tahun  2006 tentang  Standar  Kompetensi  Lulusan  untuk  Satuan  Pendidikan  Dasar  dan Menengah. 
  11. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  20  Tahun  2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. 
  12. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  41  Tahun  2006 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 
  13. Pusat  Bahasa  Departemen  Pendidikan  Nasional.  2008.  Kamus  Bahasa  Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Cet. I. 
  14. Pusat Kurikulum Kemdiknas. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas. 
  15. Ryan, Kevin & Bohlin, K. E. 1999. Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass. 
  16. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 
  17. Zainuddin.  2008.  Reformasi  Pendidikan:  Kritik  Kurikulum  dan  Manajemen  Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.