Thursday, August 29, 2013

DPR: Kemdikbud masih Setengah Hati Memajukan Kualitas Pendidikan Indonesia

Magister-pendidikan. Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi X DPR RI dengan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, dengan pembahasan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2012, evaluasi pelaksanaan APBN 2013 dan APBNP 2013 kamis malam (29/8) menunjukan masih belum optimalnya realisasi anggaran Kemdikbud 2013 hingga tanggal 28 agustus 2013, hanya 39,43 %.

Surahman Hidayat anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, dalam keterangannya mengatakan Kemdikbud masih setengah hati dalam memajukan kualitas pendidikan di Indonesia. Ini terbukti belum optimalnya daya serap anggaran Kemdikbud.

Realisasi anggaran 2013 belum secara optimal tercapai, diantaranya disebabkan oleh karena proses perencanaan anggaran yang tidak matang dan ditenggarai ada persoalan teknis dalam prosedur penetapan postur anggaran, hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah mata anggaran yang masih diblokir oleh Kementerian Keuangan hingga pertengahan tahun, hai inilah dijadikan alasan oleh pemerintah sebagai faktor penghambat program.

Selain itu kami juga  masih banyak ditemukan permasalahan di lapangan, yang menunjukan bahwa sistem pendidikan di Indonesia dalam kondisi yang memprihatinkan, termasuk di antaranya adalah kualitas integritas guru, mulai dari kedisiplinan, tanggung jawab mereka yang masih sangat rendah, sehingga berdampak pada rendahnya kualitas para anak didik.

Kurang disiplinnya para guru tersebut, Surahman  melanjutkan, secara tidak langsung membuat anak didik menjadi tidak bersemangat dalam mengikuti proses belajar di sekolah.

"Karenanya saya berharap kedepannya pemerintah dalam hal ini Kemdikbud harus benar-benar fokus dalam merencanakan dan melaksanakan target program pendidikan agar tepat sasaran sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Kemdikbud harus menyusun postur anggaran pendidikan yang  aplicable tapi juga progresif yang melibatkan semua pihak, sehingga dengan demikian persoalan hambatan-hambatan pendidikan tidak terus berulang," jelas Surahman. [parlementaria]

Monday, August 19, 2013

Sekolah yang Merakyat, Mengajarkan Pengetahuan dan Ketrampilan serta Menanamkan Nilai-Nilai Moral


Oleh: Asep Sapa'at 
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

Dari dulu sampai sekarang, sekolah masih tetap ada di muka bumi ini. Sekolah, selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, juga punya peran untuk menanamkan nilai-nilai moral kehidupan. Sejatinya, itulah fungsi dan peran idealisme suatu sekolah. 
   
Sayang seribu sayang, idealisme sekolah kian luntur tak mampu imbangi realitas zaman yang serbarumit. Hari ini, peran sekolah tak cukup sekadar mampu memenuhi hak-hak belajar murid. Tapi, sekolah mesti mampu lakoni peran sebagai agen perubahan sosial kehidupan masyarakat.
Budaya hedonis- kapitalis, lahirkan lulusan yang tak sadar diri, untuk apa dan untuk siapa bersekolah. Sekolah hanya jadi institusi yang berguna bagi dirinya sendiri dan melanggengkan kepentingan kelompoknya, tapi tak mampu mengubah potret hidup masyarakat. 

Teringat pernyataan Prof Jimly Asshiddiqie tempo hari, "Sekolah itu sama saja. Mau bersekolah di negeri atau swasta, di kota atau di desa, di dalam negeri atau luar negeri, yang penting punya komitmen pribadi untuk sungguh-sungguh mencari ilmu. Sekolah itu faktor pendukung keberhasilan hidup seseorang. Jika dapat sekolah bagus, anggap saja itu bonus". 

Saya cukup penasaran, mengapa Prof. Jimly punya cara berpikir seperti itu soal sekolah? Saya amat bersyukur, tak perlu waktu lama untuk temukan jawaban dari beliau. "Dulu saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah --selevel SD dan SMP-- di pelosok desa. Yang menarik, saya baru tahu sekarang, sekolah saya itu ternyata tak punya status. Sekolah saya tak berstatus 'diakui', 'disamakan', 'terakreditasi', tapi hanya berstatus 'diridhai Allah SWT", urai Prof. Jimly sambil terkekeh. 

"Masa depan tergantung KOMITMEN. Lingkungan, itu bonus. Mending jadi orang susah, tapi pikiran terbuka", itulah prinsip hidup Prof. Jimly. Terlahir dari keluarga miskin tak membuatnya risau menatap masa depan. Nah, kira-kira adakah sekolah yang bisa didik anak-anak orang susah agar punya pikiran terbuka? Oh ya, saya ingat satu nama, 'Sekolah Dowa Islami' di kota Serang (Banten).  

Entahlah, pertama kali melihat bangunan sekolah yang didominasi bahan dari kayu dan bilik, pikiran saya terbang menerawang. "Lulusan seperti apa yang bisa dihasilkan dari sekolah ini?" Ruangan kelas beralaskan ubin kayu, berdinding bilik, dan beratap seng menjadi saksi bisu perjuangan jatuh bangunnya sekolah Dowa Islami. Tak ada yang istimewa jika menilik infrastruktur bangunan sekolahnya. Tapi, ketangguhan dan kemuliaan hati para pendidiknya yang justru memesona diri saya.

Sekolah ini menerima anak-anak terbuang, yang sulit masuk sekolah elit dan favorit. Tak ada kebanggaan bagi orangtua yang kirimkan anaknya sekolah di Dowa Islami. Wajar memang karena sekolah ini dianggap tak punya prestise. Apalagi soal prestasi. Justru karena tak punya prestise dan prestasi, sekolah ini memulai dengan keberanian tuk bermimpi. Cita-citanya tak muluk, anak-anak dari rakyat jelata dan tak berpunya tetap bisa berilmu agar hidupnya mulia dan bermanfaat bagi sesama. 

Lupakan soal gaji. Kepala sekolah dan guru sadar untuk apa mereka berkarya di sekolah Dowa Islami. No money, they're no cry. Biarlah hidup mereka serba terbatas. Tapi, harapan untuk melahirkan generasi yang lebih baik tak pernah redup di telan sang waktu. Mereka berikan karya terbaik untuk sekolah. Suasana hidup di lingkungan sekolah serba prihatin. Kondisi yang jelas bukan karena pilihan mereka sendiri. 

Tantangan terberat datang dari orangtua murid. Mereka tak yakin anaknya bisa berhasil sekolah di Dowa Islami. Titik persoalan, lebih banyak orangtua yang rajin mengkritik saja ketimbang turut berkontribusi memajukan sekolah. Barisan kepala sekolah dan guru tetap solid hadapi situasi tersebut. Proses pendidikan terus berlangsung, anak didik tetap dirawat agar tak jadi 'sampah masyarakat'. Ajaran soal moralitas jadi menu utama. Soal kepintaran, itu nomor dua. Semua murid dibekali keterampilan hidup agar tak jadi beban buat masyarakat, syukur-syukur jika ada yang berhasil lanjutkan ke bangku sekolah yang lebih tinggi lewat beasiswa. 

Suasana kebersamaan begitu kental terasa di sekolah Dowa Islami. Jika ada tamu datang ke sekolah, semua guru dan murid bahu-membahu memberi pelayanan terbaik. Meski kondisi keuangan sekolah morat-marit, pantang untuk berikan jamuan alakadarnya pada tamu. "Tamu itu mesti dimuliakan. Kami kumpulkan dana dari semua guru dan murid. Kami masak bersama untuk memberikan hidangan istimewa. Itulah cara kami mensyukuri nikmat. Semoga keberkahan menyertai perjuangan kami", ungkap kepala sekolah di sela-sela bincang santai. Saya merasa begitu sangat terhormat bisa hadir dan bercengkrama bersama guru-guru Dowa Islami tahun 2009 silam.

Atas dasar sikap sabar, syukur, ikhlas, sungguh-sungguh dalam melewati hari-hari penuh perjuangan, sekolah mulai tunjukkan prestasi sedikit demi sedikit. Dulu banyak yang mencibir, kini tak sedikit yang mulai menaruh respek. "Bersyukur saya jadi orang susah. Karena hidup susah, pikiran saya jadi lebih terbuka karena ilmu yang diberikan guru-guru Dowa Islami". Cara berpikir murid Dowa Islami yang telah mengalami perubahan.
       
Inkeles dan Dreeben (1968) menyatakan, sekolah dapat memberikan efek terhadap sikap hidup para pelakunya hanya melalui proses interaksi sosial yang berlangsung di sekolah, bukan karena faktor pemberian materi pengajaran. Sikap teladan yang ditunjukkan guru-guru Dowa Islami paling memengaruhi cara berpikir dan bersikap murid-muridnya karena adanya interaksi sosial intens antara guru-murid di sekolah tersebut. 

Inilah potret sekolah yang merakyat, sekolahnya punya rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mereka pegang teguh konsep 'berkah'. Apa itu konsep 'berkah'? Jika hidup serba kurang tetap bisa dicukupkan, berlebih tak ada yang sia-sia. Hulu dan hilirnya, semua penuh kebaikan. Kelak, sekolah model inilah yang punya masa depan cerah.

Mengapa? Karena para lulusannya tetap bersahaja, berhati rakyat, dan gunakan segenap kemampuannya ketika mereka jadi orang berhasil untuk selamatkan sekolah agar tetap eksis. Jika pun hanya jadi orang biasa, mereka tetap bersikap tanggung jawab untuk berperilaku baik agar tak cemarkan nama baik sekolah di mata masyarakat. Karena sejatinya, sekolah telah mewariskan jati diri dan kebanggaan sebagai rakyat yang meskipun hidup susah tetap bisa jaga kehormatan diri. [ROL]

Friday, August 2, 2013

Problem Anak Disaat Liburan: PR Menumpuk yang Tidak Dinilai Guru

Magister-pendidikan. Liburan panjang menjelang hari Lebaran yang dinanti telah tiba. Sebagian anak-anak sekolah di Indonesia sudah mulai libur sejak Sabtu kemarin, sementara sebagian lagi akan memasuki liburan sekolahnya pekan ini.

Jangankan anak-anak, kita saja para orang tua terutama para ibu, girangnya bukan main jika masa liburan telah tiba. Seolah terlepas sejenak dari "beban" kewajiban mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolah anak-anak. 

Bebas dari kewajiban membuatkan bekal untuk makan siang di sekolah, bebas dari kewajiban mendampingi anak mengerjakan PR, bebas dari kewajiban mengantar dan menjemput anak ke sekolah dan tempat les, dan lain-lain aktifitas sehari-hari yang cukup menguras pikiran dan tenaga. Lega rasanya saat anak-anak mendapatkan libur barang dua pekan. Cukuplah bagi kita untuk sejenak beristirahat, dan beralih pada kesibukan yang berbeda, seperti mengerjakan hobi atau mengunjungi keluarga dan teman.

Tapi tunggu dulu, benarkah di musim liburan ini, anak-anak kita benar-benar libur ? tidak bersentuhan dengan buku tulis dan pensil sama sekali? ataukah justru sebaliknya, mereka terpaksa mengisi liburan dengan kening berkerut dan keluh kesah berkepanjangan karena para guru di sekolah membekali murid-muridnya dengan tugas yang luar biasa banyaknya ?. Kalau sudah begini, apa boleh buat, kita para orang tuapun harus merelakan waktu untuk selalu mendampingi anak-anak belajar, yang itu artinya, membuat kita seolah kembali bersekolah.

Mengapa PR tetap diberikan di saat liburan ?

Ada satu masalah yang sering dihadapi para guru saat anak-anak kembali masuk sekolah setelah liburan usai, yakni sulitnya anak-anak memasuki materi pelajaran tertentu yang terputus karena libur. Kebanyakan anak-anak terlupa dengan materi yang sudah dibahas, karena jeda libur yang terlampau lama. Akibatnya guru harus mengulang menjelaskan dari awal lagi, dan ini berarti guru dan murid merugi waktu, karena seharusnya yang dibahas adalah materi berikutnya. Fenomena ini sangat kerap ditemukan, yang oleh sebab itu harus dicarikan solusinya.

Kemudian para gurupun memberikan Pekerjaan Rumah kepada murid-muridnya, dengan tujuan agar para murid tetap belajar di sela-sela waktu liburnya yang panjang, juga agar anak-anak tidak terlupa pada materi pelajaran yang sudah dibahas.

Selain itu, pemberian PR diharapkan dapat menjadi semacam "jembatan" yang menghubungkan antara proses belajar di sekolah dengan proses belajar di rumah. Kerjasama yang sinergis antara pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah (keluarga) memang sangat dibutuhkan. Hal ini menuntut pihak keluarga khususnya orang tua untuk terlibat secara aktif dalam proses pendidikan anak. Asumsinya, orang tua harus membantu anak memahami materi pelajaran yang sulit, mengingat faktor keterbatasan waktu di sekolah, dan keterbatasan perhatian guru yang harus memecah konsentrasinya pada semua muridnya dalam satu kelas dengan kemampuan setiap murid yang beragam pula.

PR itu sudah biasa. Tapi kalau terlalu banyak, ya bete juga !

Sampai disini sebetulnya tidak ada masalah karena alasan pemberian PR tersebut sangat masuk akal dan bermanfaat bagi anak. Namun akan berbeda permasalahannya jika PR yang diberikan oleh guru sangat banyak, dan setiap guru seolah berlomba memberikan seabrek PR kepada anak-anak kita. Walhasil, alih-alih liburan menyenangkan yang didapat oleh anak dan orang tua, anak-anak justru menjadi anti pati terhadap suatu pelajaran tertentu atau bahkan marah kepada gurunya. Secara psikologis hal ini tentu sangat merugikan anak-anak, karena bagaimanapun, anak-anak tidak boleh memiliki pandangan yang keliru terhadap proses belajar termasuk memendam perasaan yang negatif kepada para gurunya.

Dalam psikologi pendidikan disebutkan bahwa waktu efektif bagi seorang anak untuk berkonsentrasi belajar dengan duduk diam, mendengarkan penjelasan dan mengerjakan latihan soal , tak lebih dari 20 menit saja. Selebihnya anak akan merasa gelisah, teralihkan perhatiannya, dan ingin melakukan kegiatan yang lain. Oleh karena itu tak usah heran jika saat kita mendampingi anak mengerjakan PR nya, baru 20 menit, dia sudah tak sabar, inginnya mondar-mandir dengan banyak alasan. Yang ingin minumlah, ingin sambil makan permen, ingin ke toilet dulu, mengusik adik bayinya, dll. Sebetulnya bukan semua itu yang mereka butuhkan. Mereka hanya merasa bosan saja. Nah, itu jugalah yang terjadi di sekolah. Terbayang bukan, bagaimana seorang guru harus menghadapi ulah anak sekelas yang semuanya merasa bosan ? kalau guru tidak kreatif mensiasati keadaan ini, bisa cepat kena penyakit darting dia !

Apakah semua PR Itu diperiksa dan diberi nilai oleh guru ?

Kalau memang pada umumnya seorang anak hanya punya waktu konsentrasi belajar secara efektif hanya 20 menit, lalu mengapa guru harus memberikan PR yang harus dikerjakan anak dalam waktu 2 jam sehari selama seminggu ? sudah begitu semua guru memberikan PR yang sama banyaknya ? tak ada manfaatnya bukan ? karena percayalah, boleh jadi semua PR nya selesai, namun mereka mengerjakannya dengan gerutuan panjang pendek, yang membuat orang tua hanya bisa mengelus dada ( karena jujur, orang tuapun merasakan hal yang sama. Kesal karena terbawa sibuk membantu mengerjakan PR ! ).

Masih mending kalau saat masuk sekolah nanti semua PR yang segunung itu diperiksa dan diberi nilai. Masih agak terhiburlah hati anak-anak, apalagi kalau guru memberikan nilai bagus. Namun pada kenyataannya, banyak sekali guru yang sama sekali mengabaikan PR yang diberikan kepada murid-muridnya tanpa dinilai sama sekali, padahal PR itu jelas-jelas telah menyita sebagian waktu liburan anak- anak !

Sama sekali tidak diperiksa  nggak usah heran kalau guru semacam ini jadi sasaran kebencian dan kemarahan para murid di belakang punggungnya.

Jadi apa yang harus dilakukan ?

1. Saran Bagi Orang Tua

Bagaimanapun, PR memiliki manfaat yang besar bagi anak-anak kita. Libur yang terlampau panjang tanpa diisi sama sekali dengan kegiatan belajar (mengulang dan berlatih pelajaran di sekolah ) akan membuat anak terlena, hilang motivasi, atau terlupa pada materi pelajaran yang mungkin saja sesungguhnya sudah dia kuasai. Oleh karena itu orang tua harus mensupport anak-anak dalam mengerjakan tugas-tugasnya, yakni dengan mendampingi, kalau perlu membantu mereka menyelesaikan pekerjaannya.

Membantu mengerjakan PR ? ya, mengapa tidak ? boleh kok kita membantu anak mengerjakan PR, sebatas bukan kita yang mengerjakan semua PR itu, namun memberitahu cara termudah mengerjakannya. Termasuk seumpama membantu mencarikan sumber belajar di internet, membelikan alat- alat yang dibutuhkan untuk PR tertentu seperti membuat peta bumi, melakukan tanya jawab, atau bahkan sesederhana sekedar duduk disampingnya sambil membaca buku, sementara anak asyik mengerjakan PR nya. Percayalah, hanya sekedar melihat Ayah-Bundanya ada di sampingnya saja, terkadang sudah lebih dari cukup bagi seorang anak untuk bersemangat mengerjakan PR-PR nya sampai selesai.

Bagaimana jika PR yang diberikan guru sangat banyak dan menyita waktu liburan anak-anak ? tugas kitalah sebagai orang tua, untuk membantu mengatur jadwal mereka. Berilah pengertian, dan doronglah anak-anak untuk mencicil PR nya sedikit demi sedikit setiap hari, yang penting selesai. Jangan sampai karena kelalaian orang tua dan keasyikan liburan , anak- anak terpaksa merapel pekerjaannya yang segunung dalam waktu yang sangat sempit. Anak akan kelelahan, atau bahkan jatuh sakit, dan kita bisa jadi uring-uringan nanti.

Dan ini yang tak kalah penting : jangan lupa untuk selalu memeriksa dan memastikan anak-anak sudah benar mengerjakan PR nya. Wah, kok jadi terlihat seperti guru ya ? ya begitulah faktanya. Orang tua adalah guru yang utama bagi anak- anak. Itulah gunanya dahulu kita bersekolah. Ilmu yang kita miliki akan sangat bermanfaat bagi putra-putri kita, tak peduli apa profesi kita. Bersyukurlah bagi teman-teman yang berprofesi sebagai Ibu rumah tangga full timer. Itu artinya anda memiliki cukup banyak waktu untuk berkonsentrasi menjadi guru di rumah bagi anak-anak tercinta. Lalu bagaimana dengan Ayah-Ibu yang keduanya berkarir di luar rumah ? jawabannya sama saja : anda harus tetap meluangkan waktu untuk mendampingi anak-anak berlajar di rumah, jika anda ingin anak -anak sukses dalam pendidikannya. Atau anda ingin menyerahkan soal pendidikan anak-anak pada babysitter atau asisten rumah tangga barangkali ? pikirkanlah dampaknya baik-baik.

2. Saran Bagi Guru

Untuk bagian ini, saya serasa berkontemplasi, mengingatkan diri sendiri agar menjadi pendidik yang baik dan bertanggung jawab, yang kehadirannya di kelas selalu ditunggu anak-anak dengan penuh semangat.
Teman-teman Pendidik yang budiman, Ingatlah selalu bahwa mata pelajaran di sekolah itu bukan hanya mata pelajaran yang kita ajarkan saja. Masih banyak mata pelajaran lainnya . Ketika kita harus memberikan PR yang harus dikerjakan pada saat liburan, jangan pernah lupa bahwa guru lainpun ada kemungkinan melakukan hal yang serupa. Jika satu guru memberikan PR masing-masing 2 bab, maka berapa bab PR yang harus dikerjakan seorang anak untuk sedikitnya 10 mata pelajaran ? 20 bab bukan ? nah, apakah itu wajar bagi seorang anak ? apakah saat kita seusia mereka kita akan sanggup mengerjakannya ?

Berilah PR kepada murid-murid kita semata-mata karena motif manfaat, bukan motif yang lainnya, apalagi motif kewibawaan. Tak pernah ada ceritanya, guru berwibawa di mata para murid karena banyak memberikan PR, memberikan soal ulangan yang musykil, pelit nilai, atau bersikap galak. Anak-anak hanya akan takut pada kita, bukan merasa segan. Dan kita tahu, alangkah besarnya perbedaan antara makna takut dengan segan !

Selalulah menjalin komunikasi dengan rekan sejawat. Cari tahu sebanyak apa PR yang mereka berikan, agar anak-anak tidak terlalu terbebani dengan banyaknya PR yang kita berikan. Di saat liburan, anak-anak berhak libur, berhak istirahat. Mana mungkin mereka dapat beristirahat dan bersenang-senang, dapat bertumbuh kembang fisik dan mentalnya dengan baik, jika di saat liburanpun, mereka harus tetap terlibat dalam situasi yang serius, yang membuat mereka penat ?. Jika memang harus memberikan PR, upayakan agar waktu mereka tidak banyak tersita. Buatlah sedemikian rupa agar PR kita dapat diselesaikan anak-anak maksimal dalam waktu 30 menit saja. Yang penting anak-anak tidak melupakan pelajarannya.

Bersikaplah kreatif dalam memberikan PR. Jangan hanya menekankan segi kognitif saja. Anak-anakpun harus berkembang dalam sisi afektif dan psikomotoriknya. Sesungguhnya PR dapat dibuat sedemikian rupa agar anak-anak lebih merasa bermain ketimbang mengerjakan PR. Semisal tugas mengunjungi dan bersilaturahmi kepada guru TK, SD, atau SMP nya, tugas membuka dan membaca website yang kita tentukan, tugas membaca satu buku cerita/ novel, tugas mengunjungi taman kota, melihat-lihat kampus perguruan tinggi, tugas memotret pemandangan yang paling unik dan menarik di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, tugas menonton pertunjukkan seni, tugas mengunjungi museum, tugas wisata kuliner, dll, yang kesemuanya itu akan dipresentaskan di kelas di hadapan teman-temannya . Dan masih banyak lagi kreatifitas yang dapat dilakukan dalam memberikan PR kepada para siswa. Semua tugas itu sangat mungkin diintegrasikan dalam mata pelajaran apapun. Anak akan merasa senang, karena mereka dapat melakukannya sambil bermain.

Satu hal yang paling penting : jangan pernah membiarkan PR anak-anak terkumpul di meja kita atau di inbox email kita tanpa diperiksa dan dinilai. Kasihan mereka yang sudah bersusah payah mengerjakannya. Berilah penghargaan pada anak-anak yang rajin, jangan hanya pandai menghukum mereka yang tidak mengerjakan PR. Memeriksa dan menilai setiap pekerjaan murid, adalah tugas kita yang utama. Bagaimana kita bisa tahu tingkat pemahaman anak-anak, jika melihat PR mereka saja kita tak sudi ?. Atau, tak perlulah kita memberi PR jika kita tak sanggup memeriksa dan menilainya. Janganlah berbuat curang pada anak-anak, sekecil apapun. Tak ada yang lebih buruk daripada menjadi guru yang dibenci oleh muridnya sendiri.

Akhir kata, biarkanlah anak-anak bergembira ria di saat liburan. Mereka berhak mendapatkannya setelah sepanjang semester mereka belajar dengan keras dan rajin. Biarkanlah anak-anak mengisi liburannya dengan kegiatan yang bermanfaat dan menyehatkan. Menyehatkan fisik dan mentalnya. Jadilah guru dan orang tua yang bijak dalam menyikapi fenomena PR di saat liburan, demi keberhasilan pendidikan anak-anak kita tercinta. Nah, semoga bermanfaat, selamat mendidik ya teman-teman :)

___________________
Sumber : Harian Kompas Senin, 29 Juli 2013

Kualitas LPTK Masih Memprihatinkan

Magister-pendidikan. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) prihatin karena kinerja beberapa perguruan tinggi penghasil guru (lembaga pendidikan tenaga kependidikan /LPTK) menyedihkan. Mendidik guru tidak boleh main-main, seadanya, dan semaunya.

"Jangan hanya karena ambisi mengeruk keuntungan besar, menyelenggarakan pendidikan guru tidak memiliki standar sama sekali. Saat ini tuntutan terhadap penyiapan calon guru berkualitas menjadi tantangan utama para pengelola perguruan tinggi yang mendidik guru", kata Ketua Umum PGRI Sulistiyo kepada Suara Merdeka, baru-baru ini.

Menurutnya, guru berkualitas akan lahir dari pendidikan calon guru yang berkualitas pula. Karena itu, dia berharap IKIP PGRI Semarang tidak sekadar memikirkan diri sendiri tapi sungguh-sungguh dan memastikan menyiapkan calon guru yang berkualitas, berpartisiapsi dalam peningkatan kualitas guru, membangun masyarakat yang lebih maju, dan sejahtera. Lebih khusus lagi, ikut bekerja keras mewujudkan PGRI sebagai organisasi profesi guru Indonesia yang dinamis, terpercaya, kuat, dan bermartabat.

"PGRI periode ini harus berupaya keras agar pelaksanaan dan penegakan kode etik guru bisa berjalan baik, perlindungan hukum dan profesi bisa dijalankan. Tugas sangat berat yang diputuskan dalam kongres adalah pelaksanaan kewenangan PGRI untuk menyertifikasi guru bersama pemerintah dan lembaga pendidikan guru yang terakreditasi", katanya. Persoalan Serius Berkaitan dengan persoalan guru dan pendidikan, PGRI lima tahun mendatang harus mendorong penyelesaian berbagai hal.

Di antaranya, evaluasi penyelenggaraan otonomi pendidikan, termasuk guru. Otonomi telah melahirkan sejumlah persoalan serius tentang pendidikan. Mutu pendidikan dirasa tidak meningkat dan guru menjadi korban politik. Undang-Undang Sisdiknas juga perlu dievaluasi untuk direvisi.

Sementara itu, SKB Lima Menteri perlu ditinjau kembali. Pelaksanaan SKB Lima Menteri telah menimbulkan persoalan dan penderitaan guru, pelaksanaannya jauh dari upaya peningkatan mutu tetapi semata-mata berpikir untuk pemerataan guru yang justru bisa kontraproduktif dengan peningkatan mutu.

"Pelaksanaan sertifikasi harus dievaluasi. Tahun ini terlambat sehingga dimungkinkan penerimaan sertifikat juga terlambat. Jika itu berdampak pada keterlambatan penerimaan tunjangan profesi guru (TPG) tahun 2014, layak dicurigai ada kesengajaan dari pemerintah untuk tidak memperlancar proses sertifikasi dan pembayaran (TPG)".

"Pembayaran TPG dari tahun ke tahun tidak makin baik, justru makin buruk. Kinerja kementerian sungguh memprihatinkan", katanya. Menurutnya, masalah lain yang harus diselesaikan adalah kekurangan guru, terutama guru SD hampir di seluruh kabupaten/kota. Begitu pula menyangkut guru honorer dan guru swasta. PGRI telah mengusulkan subsidi penghasilan minimal bagi guru non-PNS (C19-60). (SuaraMerdeka)