Thursday, September 26, 2013

PGRI: Serahkan Kelulusan Siswa Kepada Guru, Bukan Ujian Nasional

SEMARANG -  Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo menilai kelulusan siswa seharusnya diserahkan kepada guru dan bukan melalui ujian nasional.

"Kami sudah menduga tidak ada perubahan substansial terkait UN," katanya, usai diskusi "Inventarisasi Permasalahan Guru" di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang, Kamis.

Menanggapi pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh bahwa pemerintah tetap akan menyelenggarakan UN pada tahun depan, ia mengatakan bahwa UN jangan sampai mendegradasi prinsip kejujuran.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Tengah itu mengingatkan fungsi sekolah dan guru harus dikembalikan sebagaimana mestinya, termasuk berkaitan dengan penentuan kelulusan siswa.

"Jangan terlalu banyak pihak yang mencampuri urusan UN karena dikhawatirkan akan mengganggu proses pembelajaran di sekolah. Biarkan anak-anak bersaing sportif dan serahkan kelulusan pada guru," katanya.

Sebelumnya, Mendikbud Mohammad Nuh menyatakan pemerintah tetap akan menyelenggarakan UN sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.

"Undang-Undang mengamanatkan pemerintah untuk membuat aturan teknis pelaksanaan. Bagaimana mau evaluasi pengendalian mutu pendidikan secara nasional kalau tidak dilaksanakan secara nasional," katanya, di Jakarta, Rabu (25/9).

Nuh mengemukakan hal tersebut ketika memberikan penjelasan tentang penyelenggaraan Konvensi UN yang akan diselenggarakan di Jakarta pada 26-27 September 2013.
Menurut Mohammad Nuh, UN merupakan masalah akademik namun sering dibawa ke aspek legal.

"Baru kali ini ujian dipersoalkan pakai pengadilan ini cuma di Indonesia saja. Untung MA primernya paham. Artinya UN tetap ada tetapi diperbaiki," katanya.

-----
Sumber: Republika Online

Wednesday, September 25, 2013

Contoh Silabus dan RPP Kurikulum 2013

Salah satu perbedaan yang cukup signifikan antara Kurikulum 2006 (KTSP) dengan Kurikulum 2013 yaitu berkaitan dengan perencanaan pembelajaran. 

Dalam Kurikulum 2006, kegiatan pengembangan silabus merupakan kewenangan satuan pendidikan, namun dalam Kurikulum 2013 kegiatan pengembangan silabus beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu yang secara khusus dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan.

Meski tidak lagi direpotkan membuat silabus sendiri (diambil alih kewenangan guru?), seorang guru tetap saja dituntut untuk dapat memahami seluruh pesan dan makna yang terkandung dalam silabus, terutama untuk kepentingan operasionalisasi pembelajaran. Oleh karena itu, upaya telaah (kajian) silabus tampak menjadi penting, baik dilakukan secara mandiri maupun kelompok (khususnya melalui kegiatan bedah silabus dalam forum MGMP), sehingga diharapkan para guru dapat memperoleh perspektif yang lebih tajam, utuh dan komprehensif dalam memahami  seluruh isi silabus yang telah disiapkan tersebut.

Salah satu perbedaan yang cukup signifikan antara Kurikulum 2006 (KTSP) dengan Kurikulum 2013 yaitu berkaitan dengan perencanaan pembelajaran. Dalam Kurikulum 2006, kegiatan pengembangan silabus merupakan kewenangan satuan pendidikan, namun dalam Kurikulum 2013 kegiatan pengembangan silabus beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu yang secara khusus dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan.

Meski tidak lagi direpotkan membuat silabus sendiri (diambil alih kewenangan guru?), seorang guru tetap saja dituntut untuk dapat memahami seluruh pesan dan makna yang terkandung dalam silabus, terutama untuk kepentingan operasionalisasi pembelajaran. Oleh karena itu, upaya telaah (kajian) silabus tampak menjadi penting, baik dilakukan secara mandiri maupun kelompok (khususnya melalui kegiatan bedah silabus dalam forum MGMP), sehingga diharapkan para guru dapat memperoleh perspektif yang lebih tajam, utuh dan komprehensif dalam memahami  seluruh isi silabus yang telah disiapkan tersebut.

Sementara untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Rencana Kegiatan Harian) tampaknya masih tetap menjadi kewenangan dari guru yang bersangkutan, yaitu dengan berusaha mengembangkan dari Buku Babon (termasuk silabus) yang telah disiapkan pemerintah.
Yang membuat penasaran dan mungkin sering menggoda fikiran kita, kira-kira seperti apakah RPP yang sejalan dengan semangat dan prinsip-prinsip pembelajaran yang dikehendaki oleh Kurikulum 2013?  Saya beruntung menemukan sebuah model RPP yang bisa kita jadikan referensi. Model ini saya peroleh dari komunitas FaceBook Ikatan Guru Indonesia, hasil Seminar Kurikulum 2013 yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) di Surabaya, 17 Maret 2013.
Memperhatikan contoh silabus dan RPP yang diajukan ini, saya melihat ada nuansa yang berbeda dengan RPP yang dikembangkan selama ini, diantaranya:
  • Langkah-langkah pembelajaran tidak lagi mencantumkan secara eksplisit dan detil tentang siklus eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, tetapi telah terbingkai secara utuh, dengan merujuk pada metode pembelajaran yang dipilih.
  • Nilai-nilai dalam pendidikan karakter tidak hanya sekedar “ditempelkan” dalam rumusan tujuan atau langkah-langkah pembelajaran.
  • Dan yang paling utama, pendekatan pembelajaran yang hendak dikembangkan telah menggambarkan sebuah proses pembelajaran yang lebih mengedepankan peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya. Sementara guru  lebih banyak menampilkan perannya sebagai pembimbing dan fasilitator belajar siswa (lihat langkah-langkah dalam kegiatan inti).
Anda ingin mengunduh Model Silabus dan RPP tersebut? Silahkan klik tautan berikut ini: [Contoh Silabus dan RPP Kurikulum 2013]
# Catatan:
Meski model RPP ini untuk kepentingan pembelajaran IPA di SMP,  tetapi saya melihat esensi tentang sistematika penyusunannya (bukan substansi dan sasaran kelasnya) sangat mungkin untuk diadaptasi dalam pembelajaran lainnya. Silahkan telaah lebih lanjut dan mari kita diskusikan dalam forum komentar di bawah ini untuk menyempurnakan dan melengkapinya!
# Update:
Informasi seputar Kurikulum 2013, bisa dilihat dan diunduh melalui tautan berikut ini: [Layanan PTK]


--------
Sumber: [Link website]

Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan.

Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini.

Di lain pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah dianggap sebagai hal yang biasa.

Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya.
Upaya pemberantasan korupsi – yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahan –tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika mahasiswa –sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris masa depan– diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan mahasiswa dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum.

Peran aktif mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat. Mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di masyarakat. Untuk dapat berperan aktif mahasiswa perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya. Yang tidak kalah penting, untuk dapat berperan aktif mahasiswa harus dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya pembekalan mahasiswa dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain melalui kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar atau perkuliahan. Untuk keperluan perkuliahan dipandang perlu untuk membuat sebuah Buku Ajar yang berisikan materi dasar mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa. Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti korupsi.

Tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan budaya anti korupsi di kalangan mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk dapat berperan serta aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti korupsi.
Buku Ajar Pendidikan Anti Korupsi ini berisikan bahan ajar dasar yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Perguruan Tinggi dan Program Studi masing-masing. Bahan ajar dasar yang dituliskan dalam buku ini terdiri dari delapan bab, yaitu:
  1. Pengertian Korupsi,
  2. Faktor Penyebab Korupsi,
  3. Dampak Masif Korupsi,
  4. Nilai dan Prinsip Anti Korupsi,
  5. Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia,
  6. Gerakan, Kerjasama dan Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi,
  7. Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan, dan
  8. Peranan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi. Disamping delapan bab yang berisikan bahan ajar dasar, buku ini juga dilengkapi dengan panduan pembelajaran yang berjudul Model Pembelajaran Matakuliah Anti Korupsi yang dituliskan dalam bagian I, untuk memudahkan pengajaran Pendidikan Anti Korupsi.
Untuk lebih lengkapnya, Buku Pedoman Pendidikan Anti Korupsi yang diterbitkan oleh DIKTI dapat di unduh pada tautan [di sini]

------
Sumber: [Link website]

Mulailah Pendidikan Antikorupsi di Keluarga dan Sekolah..!

Pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat yang paling dini. Penanaman nilai-nilai antikorupsi harus mulai diberikan kepada anak di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolahnya. Dengan begitu, saat tumbuh dewasa, seseorang sudah paham dengan buruknya tindakan korupsi.

Demikian disampaikan Koordinator Youth Departement Transparency International Indonesia (TII) Lia Toriana saat memaparkan rekomendasi hasil survei yang dirilisnya dalam acara bertajuk "Youth International Conference On Integrity" di Jakarta, Rabu (25/9/2013). 

Sesuai temanya, acara diskusi tersebut dihadiri anak muda yang umumnya adalah mahasiswa-mahasiswi. Dalam survei tersebut, disebutkan bahwa faktor keluarga masih memegang peranan paling penting dalam mempengaruhi pandangan seseorang tentang integritas dan sikap antikorupsi. 

Sebanyak 83 persen responden menganggapnya berpengaruh. Di urutan nomor dua, sebanyak 80 persen responden menganggap sistem pendidikan baik di sekolah ataupun di kampus mempengaruhi pandangan seseorang terhadap integritas dan sikap antikorupsi. 

Hasil survei juga menyebutkan, sebanyak 74 persen responden berpendapat, tingkat integritas juga dipengaruhi oleh teman sepermainan. Selain itu, 66 persen responden berpendapat tokoh/pemimpin turut memengaruhi, dan sisanya selebriti dunia hiburan sebesar 33 persen. 

"Ini menunjukkan kalau pendidikan antikorupsi ini harus dimulai sedini mungkin," kata Lia. 

Menurutnya, orangtua harus menjadi contoh yang baik terhadap anaknya. Orangtua tidak boleh mencontohkan perbuatan-perbuatan koruptif, sekecil apapun perbuatan itu. Sekolah dan perguruan tinggi, menurutnya, juga harus mulai mengajarkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak didiknya. 

Survei dilakukan di DKI Jakarta pada periode bulan Juli 2012-Desember 2012. Sampel adalah anak muda yang berusia 15 sampai 30 tahun. Metode penelitian ini menggabungkan dua metode, yaitu kuantitatif dan kualitatif. 

Metode kuantitatif dilakukan di 50 kelurahan di lima wilayah DKI Jakarta, sementara metode kualitatif dilakukan dengan Focus Group Discussion (FGD). Margin of error penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95 persen, berada di bawah 2.5 persen.

----
Sumber: [kompas]

Monday, September 16, 2013

Ada 6 Perubahan pada Kurikulum 2013 dibanding Kurikulum Lama

Kurikulum 2013 mulai diterapkan secara bertahap mulai pada tahun ini (2013). Ada 6 perbedaan Kurikulum 2013 dibanding kurikulum lama. Apa saja?

"Sedikitnya, ada enam perubahan yang dapat dilakukan bersamaan dengan penerapan Kurikulum 2013," demikian rilis Kemendikbud yang disampaikan Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemendikbud, Ibnu Hamad, Minggu (14/7/2013).

Pertama, terkait dengan penataan sistem perbukuan. 

Lazim berlaku selama ini, buku ditentukan oleh penerbit, baik menyangkut isi maupun harga, sehingga beban berat dipikul peserta didik dan orang tua. Menyangkut isi, karena keterbatasan wawasan dan kepekaan para penulis, kegaduhan terhadap isi buku pun sering terjadi. Kejadian terakhir di Kabupaten Bogor pada buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas 6 SD (Cerita porno, red).

Penataan sistem perbukuan dalam implementasi Kurikulum 2013 dikelola oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan dan substansinya diarahkan oleh tim pengarah dan pengembang kurikulum. Tujuannya agar isi dapat dikendalikan dan kualitas lebih baik. Selain itu, harga bisa ditekan lebih wajar (public awareness).

Kedua, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di dalam penyiapan dan pengadaan guru. 

Ketiga, penataan terhadap pola pelatihan guru.

Pengalaman pada pelaksanaan pelatihan instruktur nasional, guru inti, dan guru sasaran untuk implementasi Kurikulum 2013, misalnya, banyak pendekatan pelatihan yang harus disesuaikan, baik menyangkut materi pelatihan maupun model dan pola pelatihan.

Momentum Kurikulum 2013 adalah hal yang tepat untuk melakukan penataan terhadap pola pelatihan guru termasuk penjenjangan terhadap karir guru dan kepangkatannya.

Ke depan, sedang disiapkan konsep yang terintegrasi antara jenjang karier dan kepangkatan dengan penilaian profesi guru. Selama ini keduanya terpisah.

Keempat, memperkuat budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK).

Kelima, terkait dengan memperkuat NKRI. Melalui kegiatan ekstrakurikuler kepramukaanlah, peserta didik diharapkan mendapat porsi tambahan pendidikan karakter, baik menyangkut nilai-nilai kebangsaan, keagamaan, toleransi dan lainnya.

Keenam, ini juga masih terkait dengan hal kelima, memperkuat integrasi pengetahuan-bahasa-budaya. 

Pada Kurikulum 2013, peran bahasa Indonesia menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik, sehingga bahasa berkedudukan sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain.

Kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui cara ini, maka pembelajaran bahasa Indonesia termasuk kebudayaan, dapat dibuat menjadi kontekstual. Sesuatu yang hilang pada model pembelajaran bahasa Indonesia saat ini.

"Dari efek domino itulah maka Kurikulum 2013 adalah bagian tidak terpisahkan untuk menata berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sektor pendidikan. Karena itu, Kurikulum 2013 sesungguhnya bukan kurikulum program kementerian, tetapi kurikulum yang menjadi program pemerintah," demikian rilis Kemendikbud. [detik]

Federasi Serikat Guru Indonesia nilai Larangan Pakai Motor ke Sekolah Sulit Diterapkan

Jakarta -  Siswa DKI Jakarta dilarang menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah.  Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menilai aturan tersebut sulit diterapkan karena persoalannya tidak berdiri sendiri. 

''Kebijakan Pemprov DKI Jakarta mengubah jam masuk sekolah lebih pagi menjadi 6.30 WIB mendorong para siswa menggunakan motor,'' ujar Retno kepada Republika, Jumat (13/9).

Menurut Retno, banyak anak sekolah yang terpaksa berangkat menggunakan motor. Karena, di jam sekolah tersebut  jarang ada angkot yang beroperasi. Bahkan, mungkin belum ada angkot yang beroperasi karena terlalu pagi. 

''Jadi, motor menjadi alternatif yang paling memungkinkan agar mereka tidak terlambat tiba di sekolah,'' katanya. 

Selain itu, kata dia, polisi lalu lintas di pagi hari belum ada di jalan. Jadi, para siswa ini kerap tidak menggunakan kelengkapan kendaraan dan juga ngebut karena mengejar waktu.
''Hal ini juga sangat berisiko tinggi mengalami kecelakaan lalu lintas,'' kata Retno.

Selain itu, menurut Retno, pihak sekolah juga menerapkan hukuman bagi para siswa yang datang terlambat ke sekolah. Hal ini, memicu para siswa memilih naik kendaraan bermotor roda dua dengan alasan kepraktisan. 

''Kalau naik angkot kan sering ngetem dan membuat para siswa terlambat tiba di sekolah,'' katanya.

Retno mengatakan, para orang tua siswa juga mendorong anak-anaknya naik motor karena mereka rata-rata bekerja. Jadi,  tak sempat mengantar anak-anaknya ke sekolah. ''Ya pilihannya,  mereka membelikan anak-anknya kendaraan bermotor roda dua,'' imbuhnya. [ROL]

Mahasiswa UMY jadikan Alquran untuk Terapi Kesehatan

Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Harto Andi Irawan menjadikan Alquran untuk terapi kesehatan bagi pasien rumah sakit di Yogyakarta. 

Membaca Alquran secara tartil dapat menjadi salah satu cara untuk menurunkan skala nyeri pada ibu pasca melahirkan secara cesar.

Mahasiswa UMY ini membacakan ayat Alquran selama 10 menit pada 31 pasien di RS Nur Hidayah, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Hasilnya 16 dari 31 pasien yang dijadikan sampel di rumah sakit Nur Hidayah tersebut mengalami penurunan dari berbagai skala nyeri setelah menjalani operasi cesar. Nyeri tersebut ternyata dapat dihambat oleh adanya rangsangan syaraf lain yang lebih kuat.

“Ketika membaca Al-Qur’an tubuh melibatkan tiga jenis syaraf yaitu nervus optikus untuk membaca ayat, untuk menyuarakan, dan nervus vestibulocochlearis untuk mendengarkan sehingga rasa nyeri yang diterima otak berkurang,” paparnya, Ahad (15/9).

Hasil penelitian mahasiswa UMY angkatan 2009 ini bahkan diikutkan dalam International Confrence on Cross Cultural Collaboration in Nursing for Sustainable Development pada 9-10 September lalu di Bangkok, Thailand. Andi bahkan diundang untuk memaparkan hasil penelitiannya tersebut di ajang bergengsi ini.

"Saya bangga, karena penelitian saya disejajarkan dengan penelitian S2 dan S3 hanya empat orang pemapar makalah yang masih S1," ujarnya.

Diakuinya, para peserta konferensi yang mayoritas non muslim justru tertarik dengan hasil penelitian mahasiswa UMY ini.

Menurut Kepala Humas dan Protokol UMY, Ratih Herningtyas, selain Andi, ada tiga mahasiswa UMY yang juga diberi kesempatan melakukan presentasi penelitian yang digelar Christian University of Thailand didukung oleh Azusa Pacific University of California serta Kimyung University. 

Ketiga mahasiswa UMY ini adalah Umi Fidela, Tri Hisnawati B, dan Agung Prasetyo Wibowo juga turut mempresentasikan penelitiannya. "Empat orang mahasiswa itu menjadi satu-satunya peserta asal Indonesia pada konfrensi tersebut.," ujarnya. [ROL]

Tuesday, September 10, 2013

Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah

Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. 
FIS Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dapat menghasilkan insan-insan yang memiliki karakter mulia, di samping memiliki kemampuan akademik dan keterampilan yang memadai. Salah satu cara untuk mewujudkan manusia yang berkarakter adalah dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran. Nilai-nilai karakter utama yang harus terwujud dalam sikap dan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter adalah jujur (olah hati), cerdas (olah pikir), tangguh (olah raga), dan peduli (olah rasa dan karsa). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai karakter dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Untuk itu guru harus mempersiapkan pendidikan karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu didukung oleh keteladanan guru dan orang tua murid serta budaya yang berkarakter. 


# PENDAHULUAN

Pendidikan adalah sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia dalam rangka memperoleh ilmu yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku. Karena itu, pendidikan merupakan salah satu proses pembentukan karakter manusia. Pendidikan bisa juga dikatakan sebagai proses pemanusiaan manusia. Dalam keseluruhan proses yang dilakukan manusia terjadi proses pendidikan yang akan menghasilkan sikap dan perilaku yang akhirnya menjadi watak, kepribadian, atau karakternya. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa melalui proses pendidikan.

Pendidikan juga merupakan usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.

Sejalan dengan laju perkembangan masyarakat, pendidikan menjadi sangat dinamis dan disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Kurikulum pendidikan bukan menjadi patokan yang baku dan statis, tetapi sangat dinamis dan harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dalam rangka ini reformasi pendidikan menjadi urgen agar pendidikan tetap kondusif. Reformasi pendidikan harus terprogram dan sistemik. Reformasi terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan, misalnya dengan melakukan inovasi pendidikan. Inovasi dilakukan dengan memperkenalkan ide baru, metode baru, dan sarana prasarana baru agar terjadi perubahan yang mencolok dengan tujuan dan maksud tertentu. Adapun reformasi sistemik terkait dengan hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Reformasi sistemik menyatukan inovasi-inovasi yang dilakukan di dalam sekolah dan di luar sekolah secara luas (Zainuddin, 2008: 33-34).

Beberapa tahun terakhir pendidikan kita telah mengalami perubahan kurikulum seperti diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 yang disusul dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Di samping itu, juga telah dilakukan berbagai inovasi dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (lihat bab 2 pasal 3). Salah satu bentuk inovasi ini adalah dicanangkannya pendidikan karakter bangsa melalui berbagai proses pendidikan. Dari fungsi dan tujuan yang ingin dicapai, pendidikan karakter tidak hanya merupakan inovasi pendidikan, tetapi juga merupakan reformasi pendidikan yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan dengan benar serta melibatkan setiap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, harus dirancang dan diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka pembentukan karakter peserta didik sehingga beragama, beretika, bermoral, dan sopan santun dalam berinteraksi dengan masyarakat, maka pendidikan harus dipersiapkan, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan baik dan harus mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya guna mewujudkan insan-insan Indonesia yang berkarakter mulia.

Pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Inilah rancangan pendidikan karakter (moral) yang oleh Thomas Lickona disebut moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona, 1991: 51). Karena itulah, semua mapel yang dipelajari oleh peserta didik di sekolah harus bermuatan pendidikan karakter yang bisa membawanya menjadi manusia yang berkarakter seperti yang ditegaskan oleh Lickona tersebut.


# KAJIAN TEORI

Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter Istilah karakter adalah istilah yang baru digunakan dalam wacana Indonesia dalam lima tahun terakhir ini. Istilah ini sering dihubungkan dengan istilah akhlak, etika, moral, atau nilai. Karakter juga sering dikaitkan dengan masalah kepribadian, atau paling tidak ada hubungan yang cukup erat antara karakter dengan kepribadian seseorang.

Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan demikian, karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang yang menjadi dasar untuk membedakan seseorang dari yang lainnya.

Dengan makna seperti itu karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir (Doni Koesoema, 2007: 80). Seiring dengan pengertian ini, ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa baik buruknya karakter manusia sudah menjadi bawaan dari lahir. Jika bawaannya baik, manusia itu akan berkarakter baik, dan sebaliknya jika bawaannya jelek, manusia itu akan berkarakter jelek. Jika pendapat ini benar, pendidikan karakter tidak ada gunanya, karena tidak akan mungkin merubah karakter orang yang sudah taken for granted. Sementara itu, sekelompok orang yang lain berpendapat berbeda, yakni bahwa karakter bisa dibentuk dan diupayakan sehingga pendidikan karakter menjadi bermakna untuk membawa manusia dapat berkarakter yang baik.

Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Karakter mulia (good character), dalam pandangan Lickona, meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

Dalam proses perkembangan dan pembentukannya, karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Secara psikologis perilaku berkarakter merupakan perwujudan dari potensi Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural pada akhirnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yakni 1) olah hati (spiritual and emotional development), 2) olah pikir (intellectual development), 3) olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan 4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Keempat proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka pembentukan karakter dan perwujudan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang (Kemdiknas, 2010: 9-10).

Secara mudah karakter dipahami sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Secara koheren, karakter memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Pemerintah RI, 2010: 7).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Menurut Ahmad Amin (1995: 62) bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).

Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991) yang kemudian disusul oleh tulisan-tulisannya seperti The Return of Character Education yang dimuat dalam jurnal Educational Leadership (November 1993) dan juga artikel yang berjudul Eleven Principles of Effective Character Education, yang dimuat dalam Journal of Moral Volume 25 (1996). Melalui buku dan tulisan-tulisannya itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurutnya, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51).

Di pihak lain, Frye (2002: 2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share”. Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang menjadikan sekolah (institusi pendidikan) sebagai agen untuk membangun karakter peserta didik melalui pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter sekolah harus berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilai-nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, jujur, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga harus mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan perilaku yang tercela dan dilarang.

Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.

Nilai-Nilai Dasar dalam Pendidikan Karakter Pemerintah Indonesia telah merumusan kebijakan dalam rangka pembangunan karakter bangsa. Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 ditegaskan bahwa karakter merupakan hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan, olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif, olah raga terkait dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas, serta olah rasa dan karsa berhubungan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan (Pemerintah RI, 2010: 21).

Nilai-nilai karakter yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing-masing bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik; 
  2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif; 
  3. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih; dan 
  4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.


Dari nilai-nilai karakter di atas, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan karakter di kalangan peserta didik di sekolah, yakni jujur (dari olah hati), cerdas (dari olah pikir), tangguh (dari olah raga), dan peduli (dari olah rasa dan karsa).

Dengan demikian, ada banyak nilai karakter yang dapat dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada peserta didik.

Direktorat Pembinaan SMP Kemdiknas RI mengembangkan nilai-nilai utama yang disarikan dari butir-butir standar kompetensi lulusan (Permendiknas No. 23 tahun 8 2006) dan dari nilai-nilai utama yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Depdiknas RI (Pusat Kurikulum Kemdiknas, 2009). Dari kedua sumber tersebut nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah: 
  1. Kereligiusan, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya. 
  2. Kejujuran, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain. 
  3. Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat. 
  4. Ketangguhan, yakni sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan. 
  5. Kedemokratisan, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 
  6. Kepedulian, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya. 
  7. Kemandirian, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 
  8. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. 
  9. Keberanian mengambil risiko, yakni kesiapan menerima risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata. 
  10. Berorientasi pada tindakan, yakni kemampuan untuk mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata. 
  11. Berjiwa kepemimpinan, yakni kemampuan mengarahkan dan mengajak individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan berpegang pada asas-asas kepemimpinan berbasis budaya bangsa. 
  12. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya. 
  13. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan YME. 
  14. Gaya hidup sehat, yakni segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. 
  15. Kedisiplinan, yakni tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 
  16. Percaya diri, yakni sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya. 
  17. Keingintahuan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 
  18. Cinta ilmu, yakni cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. 
  19. Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, yakni sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain. 
  20. Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, yakni sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum. 
  21. Menghargai karya dan prestasi orang lain, yakni sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. 
  22. Kesantunan, yakni sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang. 
  23. Nasionalisme, yakni cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
  24. Menghargai keberagaman, yakni sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
D24 nilai dasar karakter di atas, guru (pendidik) dapat memilih nilai-nilai karakter tertentu untuk diterapkan pada peserta didik disesuaikan dengan muatan materi dari setiap mata pelajaran (mapel) yang ada. Guru juga dapat mengintegrasikan karakter dalam setiap proses pembelajaran yang dirancang (skenario pembelajaran) dengan memilih metode yang cocok untuk dikembangkannya karakter peserta didik.

# PEMBAHASAN 

Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti (pendidikan karakter), terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah: 
  1. Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran. 
  2. Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik. 
  3. Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
Dari ketiga bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung bersentuhan dengan aktivitas pembelajaran sehari-hari adalah pengintegrasian pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Pengintegrasian pendidikan karakter melalui proses pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah sekarang menjadi salah satu model yang banyak diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pendidik karakter (character educator). Semua mata pelajaran juga disasumsikan memiliki misi dalam membentuk karakter mulia para peserta didik (Mulyasa, 2011: 59)

Di samping model ini, ada juga model lain dalam pendidikan karakter di sekolah, seperti model subject matter dalam bentuk mata pelajaran sendiri, yakni menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajatan tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan tersendiri mengenai standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, silabus, RPP, bahan ajar, strategi pembelajaran, dan penilaiannya di sekolah. Model ini tidaklah gampang dan akan menambah beban peserta didik yang sudah diberi sekian banyak mata pelajaran. Karena itulah, model integrasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran dinilai lebih efektif dan efisien dibanding dengan model subject matter.

Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Tahap-tahap ini akan diuraikan lebih detail berikut ini.

1. Tahap Perencanaan

Pada tahap perencanaan yang mula-mula dilakukan adalah analisis SK/KD, pengembangan silabus berkarakter, penyusunan RPP berkarakter, dan penyiapan bahan ajar berkarakter. Analisis SK/KD dilakukan untuk mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang secara substansi dapat diintegrasikan pada SK/KD yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa identifikasi nilai-nilai karakter ini tidak dimaksudkan untuk membatasi nilai-nilai yang dapat dikembangkan pada pembelajaran SK/KD yang bersangkutan. Guru dituntut lebih cermat dalam memunculkan nilai-nilai yang ditargetkan dalam proses pembelajaran.

Secara praktis pengembangan silabus dapat dilakukan dengan merevisi silabus yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menambah komponen (kolom) karakter tepat di sebelah kanan komponen (kolom) Kompetensi Dasar atau di kolom silabus yang paling kanan. Pada kolom tersebut diisi nilai(-nilai) karakter yang hendak diintegrasikan dalam pembelajaran. Nilai-nilai yang diisikan tidak hanya terbatas pada nilai-nilai yang telah ditentukan melalui analisis SK/KD, tetapi dapat ditambah dengan nilai-nilai lainnya yang dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran (bukan lewat substansi pembelajaran). Setelah itu, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan/atau teknik penilaian, diadaptasi atau dirumuskan ulang dengan penyesuaian terhadap karakter yang hendak dikembangkan. Metode menjadi sangat urgen di sini, karena akan menentukan nilai-nilai karakter apa yang akan ditargetkan dalam proses pembelajaran.

Sebagaimana langkah-langkah pengembangan silabus, penyusunan RPP dalam rangka pendidikan karakter yang terintegrasi dalam pembelajaran juga dilakukan dengan cara merevisi RPP yang telah ada. Revisi RPP dilakukan dengan langkah-langkah: 
  • Rumusan tujuan pembelajaran direvisi/diadaptasi. Revisi/adaptasi tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) rumusan tujuan pembelajaran yang telah ada direvisi hingga satu atau lebih tujuan pembelajaran tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif dan psikomotorik, tetapi juga afektif (karakter), dan (2) ditambah tujuan pembelajaran yang khusus dirumuskan untuk karakter. 
  • Pendekatan/metode pembelajaran diubah (disesuaikan) agar pendekatan/metode yang dipilih selain memfasilitasi peserta didik mencapai pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan, juga mengembangkan karakter. 
  • Langkah-langkah pembelajaran juga direvisi. Kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam setiap langkah/tahap pembelajaran (pendahuluan, inti, dan penutup), direvisi atau ditambah agar sebagian atau seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap tahapan memfasilitasi peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan dan mengembangkan karakter. Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning), pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning), dan pembelajaran aktif (misal: PAIKEM/Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) cukup efektif untuk mengembangkan karakter peserta didik. 
  • Bagian penilaian direvisi. Revisi dilakukan dengan cara mengubah dan/atau menambah teknik-teknik penilaian yang telah dirumuskan. Teknik-teknik penilaian dipilih sehingga secara keseluruhan teknik-teknik tersebut mengukur pencapaian peserta didik dalam kompetensi dan karakter. Di antara teknik-teknik penilaian yang dapat dipakai untuk mengetahui perkembangan karakter adalah observasi, Penilaian kinerja, penilaian antar teman, dan penilaian diri sendiri. Nilai karakter sebaiknya tidak dinyatakan secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif, misalnya:
  1. BT: Belum Terlihat,apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator. 
  2. MT: Mulai Terlihat,apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda  awal  perilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  tetapi belum konsisten. 
  3. MB: Mulai Berkembang,apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten. 
  4. MK: Menjadi Kebiasaan atau membudaya, apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan  perilaku/karakter  yang  dinyatakan  dalam  indikator  secara konsisten (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
  • Bahan ajar disiapkan. Bahan ajar yang biasanya diambil dari buku ajar (buku teks) perlu disiapkan dengan  merevisi  atau menambah  nilai-nilai  karakter ke dalam pembahasan  materi  yang ada di dalamnya. Buku-buku yang ada selama ini meskipun telah memenuhi  sejumlah  kriteria kelayakan buku  ajar,  yaitu kelayakan isi,  penyajian,  bahasa,  dan  grafika,  akan  tetapi materinya  masih belum secara memadai mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan embelajaran dengan berpatokan pada kegiatan kegiatan pembelajaran pada buku-buku  tersebut,  pendidikan  karakter  secara memadai belum berjalan. Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambah kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. Cara lainnya adalah dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan belajar pada buku ajar yang dipakai. Selain  itu, adaptasi dapat dilakukan dengan merevisi substansipembelajarannya.
2.  Pelaksanaan Pembelajaran

Kegiatan  pembelajaran  dari  tahapan  kegiatan  pendahuluan,  inti, dan penutup dipilih  dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan  diaplikasikan  pada semua  tahapan pembelajaran karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai karakter pada peserta didik. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik.

Dalam  pembelajaran  ini  guru  harus  merancang  langkah-langkah  pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik aktif dalam prosesmulai dari pendahuluan, inti, hingga penutup. Guru dituntut  untuk menguasai berbagai metode, model, atau strategi pembelajaran aktif sehingga langkah-langkah pembelajaran dengan mudah disusun dan dapat dipraktikkan dengan  baik dan benar. Dengan  proses seperti  ini  guru  juga  bisa melakukan pengamatan sekaligus melakukan evaluasi (penilaian) terhadap proses yang terjadi, terutama terhadap karakter peserta didiknya.

3.  Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi  atau  penilaian  merupakan  bagian  yang  sangat  penting  dalam  proses pendidikan. Dalam pendidikan karakter, penilaian harus dilakukan dengan baik dan benar. Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif peserta didik, tetapi juga pencapaian afektif dan psikomorotiknya. Penilaian karakter lebih mementingkan pencapaian afektif dan psikomotorik peserta didik dibandingkan pencapaian kognitifnya. Agar hasil penilian yang dilakukan guru bisa benar dan objektif, guru harus memahami prinsip-prinsip  penilaian  yang  benar  sesuai  dengan  standar  penilaian  yang sudah ditetapkan oleh para ahli penilaian. Pemerintah (Kemdiknas/Kemdikbud) sudah menetapkan Standar Penilaian Pendidikan yang dapat  dipedomani  oleh  guru  dalam melakukan penilaian di sekolah, yakni Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Dalam standar ini banyak teknik dan bentuk penilaian yang ditawarkan untuk melakukan penilaian, termauk dalam penilaian karakter. Dalam penilaian karakter, guru hendaknya membuat instrumen penilaian yang dilengkapi dengan rubrik penilaian untuk menghindari penilaianyang subjektif, baik dalam bentuk instrumen penilaian pengamatan (lembar pengamatan) maupun instrumen penilaian skala sikap (misalnya skala Likert).


# SIMPULAN

Jika  pelaksanaan  pendidikan  karakter  di  sekolah  sebagai  bagian  dari  reformasi pendidikan,  maka reformasi  pendidikan  karakter  bisa diibaratkan  sebagai  pohon  yang memiliki empat bagian penting, yaitu akar, batang, cabang dan daun. Akar reformasi adalah landasan filosofis (pijakan) pelaksanaan pendidikan karakter harus jelas dan dipahami oleh masyarakat penyelenggara dan pelaku pendidikan. Batang reformasi berupa mandat dari pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggara pendidikan nasional. Dalam hal ini standar dan tujuan dilaksanakannya pendidikan karakter harus jelas, transparan, dan akuntabel. Cabang reformasi  berupa  manajemen pengelolaan pendidikan karakter, pemberdayaan guru, dan pengelola pendidikan harus ditingkatkan.

Sedang  daun  reformasi  adalah  adanya  keterlibatan  orang  tua  peserta  didik  dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang didukung pula dengan budaya dan  kebiasaan  hidup masyarakat yang kondusif yang sekaligus menjadi teladan bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Keempat pilar reformasi pendidikan karakter di atassaling terkait dan jika salah satunya tidak maksimal  akan dapat mengganggu pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah  dan  institusi pendidikan lainnya. Karena itulah, pelaksanaan pendidikan karakter harus dipersiapkan dengan baik dan  melibatkan semua pihak yang terkait dengan pelaksanaannya serta harus dilakukan evaluasi yang berkesinambungan.

Lingkungan sosial dan budaya bangsa Indonesia  adalah  Pancasila, sehingga pendidikan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dan yang tidak kalah pentingnya, sebagai bangsa yang beragama, pengembangan karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari ajaran agamanya. Karena itulah, pendidikan karakter yang religius (religious based character) harus didasarkan pada nilai-nilai karakter yang terkandung dalam keseluruhan ajaran agama yang dianut peserta  didik. Pengembangan karakter di sekolah  menjadi  sangat penting  mengingat di sinilah peserta  didik  mulai  berkenalan dengan berbagai bidang kajian keilmuan. Pada masa ini pula peserta didik mulai sadar akan jati dirinya sebagai manusia yang mulai beranjak dewasa dengan berbagai problem yang menyertainya. Dengan berbekal nilai-nilai karakter mulia yang diperoleh melalui proses  pembelajaran di kelas  dan di luar kelas, peserta didik diharapkan menjadi manusia yang berkarakter sekaligus memiliki ilmu pengetahuan yang siap dikembangkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.


# DAFTAR PUSTAKA
  1. Ahmad  Amin.  1995.  Etika  (Ilmu  Akhlak).  Terj.  oleh  Farid  Ma’ruf.  Jakarta:  Bulan Bintang. Cet. VIII. 
  2. Dit PSMP Kemdiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajarandi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas. 
  3. Doni  Koesoema  A.  2007.  Pendidikan  Karakter:  Strategi  Mendidik  Anak  di  Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I. 
  4. Echols, M. John & Shadily, H. 1995. Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: PT Gramedia. Cet. XXI. 
  5. Frye, Mike at all. (Ed.) 2002. Character Education: Informational Handbook and Guide for Support  and  Implementation  of  the  Student  Citizent  Act  of  2001.  North Carolina: Public Schools of North Carolina. 
  6. Kemdiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. 
  7. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility.  New  York,  Toronto,  London,  Sydney,  Aucland:  Bantam books. 
  8. Mulyasa, H.E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. 
  9. Pemerintah  Republik  Indonesia.  2010.  Kebijakan  Nasional  Pembangunan  Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas. 
  10. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  23  Tahun  2006 tentang  Standar  Kompetensi  Lulusan  untuk  Satuan  Pendidikan  Dasar  dan Menengah. 
  11. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  20  Tahun  2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. 
  12. Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  Nomor  41  Tahun  2006 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 
  13. Pusat  Bahasa  Departemen  Pendidikan  Nasional.  2008.  Kamus  Bahasa  Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Cet. I. 
  14. Pusat Kurikulum Kemdiknas. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas. 
  15. Ryan, Kevin & Bohlin, K. E. 1999. Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass. 
  16. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 
  17. Zainuddin.  2008.  Reformasi  Pendidikan:  Kritik  Kurikulum  dan  Manajemen  Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kemdikbud Harus Evaluasi Menyeluruh terhadap Buku-Buku Pelajaran di Sekolah

Surahman Hidayat, Anggota Komisi X DPR-RI 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI kembali melakukan keteledoran dengan ditemukannya bahasa yang tidak pantas termuat di buku referensi pelajaran Bahasa Indonesia, kelas 7 SMP, yang kini beredar di beberapa daerah. Bahasa kasar itu muncul di cerpen halaman 220-225 dalam buku yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan.

Dalam buku itu misalnya,ada kata-kata yang tidak patut dan tidak pantas untuk dibaca oleh siswa. Seperti "Bangsat! Kurang ajar! Bajingan! Sambar gledek lu!".

Selain kata-kata kasar terdapat kalimat ancaman yang diucapkan seorang polisi desa, seperti terdapat kata "lubang pantat" dan "pantat", seolah-olah tidak ada lagi kata yang lebih sopan untuk menggambarkan suatu ekspresi atau kejadian.

Kejadian ini membuat gusar salah satu anggota dari Komisi X DPR RI bidang pendidikan Surahman Hidayat, Rabu (4/9) di Jakarta, legislator asal Fraksi PKS ini menjelaskan, Kemdikbud bebal, tidak pandai ambil pengalaman dari kasus-kasus sebelumnya, dimana banyak ditemukan kasus buku-buku pelajaran yang berisi konten porno. “Seharusnya kejadian-kejadian seperti ini menjadi cambuk agar Kemdikbud lebih selektif dalam memproduksi buku pelajaran,” tegasnya.

Surahman melanjutkan, selain itu yang menjadi keprihatinan, adalah buku ajar ini adalah buku Kurikulum 2013, sebagai projek nasional, sensus Kurikulum 2013 belum di laksanakan sudah ditemukan dilapangan permasalahan seperti ini, kasus ini menjadi tragedi besar bagi pendidikan nasional. “Ini jelas tidak bisa di diamkan, Kemdikbud harus segera menarik buku-buku tersebut, dan harus segera melakukan evaluasi secara menyeluruh melibatkan semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan, sampai dengan proses pencetakan,” jelas Surahman.

Ini sangat berbahaya bagi proses pembentukan karakter siswa karena akan berpotensi membangun persepsi para siswa bahwa kata-kata tersebut merupakan bahasa Indonesia yang santun karena di muat dalam buku pelajaran bahasa Indonesia. “Seolah-olah mencerminkan bahwa bahasa seperti itu, kasar, pemarah, menghardik adalah bahasa yang di benarkan,” tandasnya. [pks.or.id]

Tuesday, September 3, 2013

Pemetaan Permasalahan Pendidikan dan Solusinya


Oleh Soedibyo *

Magister-pendidikan. Permasalahan kepegawaian telah terjadi diberbagai daerah mencakup kekurangan tenaga, belum jelasnya status kepegawaian, tingkatan dan besarnya serta keteraturan penerimaan gaji mereka. Diantara bidang permasalahan yang cukup rumit adalah sektor pendidikan, yakni tenaga guru, karena sifat dari sektor pembangunan ini.

Sektor pendidikan merupakan sasaran pembangunan yang penting, mengingat: Pertama, merupakan masalah yang secara khusus disebut oleh Pembukaan UUD, yaitu kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa. Kedua, tenaga terdidik adalah kunci keberhasilan dikuasainya sesuatu profesionalisme yang diperlukan oleh setiap warga negara mewujudkan kesejahteraan hidupnya.

Ketiga, sektor pendidikan ditangani oleh sebuah Kementerian yang mengelola anggaran yang sangat besar dalam struktur APBN, sehingga secara analisis sudah dari awal disadari rumitnya masalah pendidikan. Keempat, di dalam Kabinet terdapat Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang membidangi juga sektor pendidikan, oleh karena kesulitan Kementerian Pendidikan yang bersifat interdep bisa ditangani oleh Menko Kesra.

Berdasarkan uraian di atas, masalah-masalah pendidikan yang menyangkut beberapa kepentingan dan persoalan di derah, apabila tidak dapat dipecahkan persoalannya di tingkat daerah, jelas harus sampai ke tingkat Kementerian dan apabilapun diperlukan koordinasi dengan bidang-bidang lain, maka persoalan semacam ini adalah tugas dan tanggung jawab Menko Kesra untuk menanganinya, karena harus disadari masalah bernegara hakikatnya adalah mengurus kepentingan warga negara. Sangat mungkin karena banyaknya masalah-masalah strategis yang harus diputuskan oleh Pemerintah mengakibatkan tingkat Menteri apalagi Menko tidak menjangkau persoalan-persoalan kelas teri yang terjadi di daerah. 

Persoalan Kurikulum 2013

Kementerian Pendidikan adalah Kementerian yang paling terkenal dengan kebiasaan setiap kali berganti Menteri, maka berganti pula kurikulum pelajaran bagi anak didik, khususnya tingkat SMA ke bawah. Namun demikian sejak jaman Orde Lama dan Orde Baru, pada dasarnya Kementerian Pendidkan yang juga beberapa kali berubah sebutan itu, sangat berhati-hati dalam hal kurikulum.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada umumnya lebih mengarah pada kebakatan murid atau siswa tidak menghapus atau menambah mata pelajaran. Di tingkat Sekolah Menengah Atas ke bawah. Pandangan atau analisa yang terpercaya mengenai seluk beluk kurikulum baru haruslah dilakukan oleh mereka yang menguasai dan memang berkecimpung di bidang pendidikan.

Oleh sebab itu untuk menanggapi berbagai keluhan yang terjadi terhadap kurikulum baru 2013 haruslah pandangan, kesimpulan dan saran diberikan oleh Lembaga kajian yang kredibel (menguasai materi) dan terpercaya (tidak memiliki subyektifitas dengan masalah pendidikan). Salah satu yang sudah esensial dalam masalah ini adalah Kementerian Pendidikan harus sudah sadar dan bersedia menerima kenyataan apilkasi kurikulum baru bagi Lembaga Pendidikan Menengah Keatas kebawah, ada feed back yang serius, artinya secara prinsipiil perlu ditinjau kembali, karena ada masalah.

Hal inilah yang nampaknya perlu segera sampai kepada Kementerian Pendidikan sehingga ada tanggapan yang proporsional, yaitu perlu dibentuk Lembaga Penelitian yang secara khusus meneliti aplikasi dari Kurikulum 2013. Meskipun gagasan menyempurnakan Lembaga Pendidikan di Indonesia sudah muncul sejak Pemerintahan Orde Baru, ketika tantangan bakal berlakunya perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik setelah tahun 2000 merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, namun belum tentu konsep Kurikulum 2013 yang dewasa ini diberlakukan adalah pilihan yang benar.

Perubahan kurikulum harus jelas GBHN-nya, tetapi kita tahu sejak reformasi bahkan GBHN tersebut tidak ada. Oleh sebab itu memutusakan perubahan kurikulum dengan begitu saja memberlakukan Kurikulum 2013, secara konstitusional tidak benar dan secara teknis tidak cermat.

Dengan urutan berfikir ini kesimpulannya, Kementerian Pendidikan harus tidak main-main dan sekedar berdalih sudah dibahas oleh para ahli dan sudah dicetak sekian juta buku untuk siap dibagi atau sekedar sebuah peluang terjadinya kasus korupsi baru dengan Proyek Pencetakan Buku Kurikulum Baru.

Oleh sebab itu salah satu langkah yang bisa diambil adalah menyatakan bahwa pemberlakuan Kurikulum 2013 dewasa ini masih merupakan bagian dari penelitian untuk menghasilkan kurikulum baru yang paripurna, sesuai dengan perkembangan dinamika umat manusia dewasa ini kedepan.

Lebih mutlak urgensinya dari bidang lain adalah perlunya ditetapkan GBHN Bidang Pendidikan dan Pembentukan Lembaga Peneliti untuk meneliti kembali konsep Kurikulum 2013.

-----
*) Penulis adalah Letnan Jenderal TNI (Purn) dan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN)

Fraksi DPR dukung Anggaran Tunjangan Guru Non-PNS, kenaikan Biaya Operasional KUA dan lahirnya UU MIRAS

Magister-pendidikan. Menyikapi upaya pengetatan dan pelarangan terhadap peredaran Minuman Keras (MIRAS) yang selama ini sangat meresahkan masyarakat karena belum diatur dalam undang-undang, Fraksi PKS mendukung rancangan Undang-undang MIRAS.

Di samping itu sebagai upaya untuk menghindari petugas KUA dari gratifikasi serta dukungan advokasi anggaran untuk tunjangan Guru non-PNS, Fraksi Partai Keadilan sejahtera (PKS) dengan tegas PKS mendukung untuk segera dibahas dan disahkannya terkait ketiga rancangan undang-undang tersebut.

Dalam wawancara khusus dengan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah, menjelaskan Sikap FPKS di Komisi VIII DPR RI terkait dengan:
  1. Advokasi anggaran untuk tunjangan guru non PNS (yang sudah tersertifikasi) sebesar 2,4 T yang terhutang oleh pemerintah sejak 2008
  2. FPKS meminta biaya operasional Petugas KUA ditingkatkan oleh pemerintah agar terhindar dari praktek gratifikasi oleh petugas KUA diluar jam kerjanya
  3. Dukungan Fraksi PKS terhadap lahirnya Undang-undang MIRAS.
Berikut klip Video-nya...

Monday, September 2, 2013

Kemdikbud segera Revisi Buku Bahasa Indonesia Kelas VII SMP

Magister-pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjanjikan akan segera merevisi buku teks pelajaran Bahasa Indonesia Kelas VII SMP Kurikulum 2013 yang telah beredar.

Hal ini menyusul adanya aduan terkait adanya kata-kata yang tak layak dibaca pelajar setingkat SMP. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Musliar Kasim mengatakan revisi buku tersebut merupakan bagian dari evaluasi yang diterapkan bersamaan dengan implementasi Kurikulum 2013. 

"Semua buku yang ditulis kita kendalikan. Baik dari segi substansi, bahasa, ilustrasi, dan pencetakan. Tetapi sebagai manusia tentu kita menyadari juga punya keterbatasan. Untuk itu, kita ada program evaluasi. Jangan dikatakan evaluasi buku itu karena (kejadian) ini," kata Musliar, Senin (2/09).

Musliar menyampaikan, sinyal adanya evaluasi ini dapat dilihat pada bagian disclaimer halaman ii. Disebutkan, buku ini merupakan 'dokumen hidup' yang senantiasa diperbaiki, diperbarui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan perubahan zaman. 

Masukan dari berbagai kalangan diharapkan dapat meningkatkan kualitas buku ini. "Kita imbau kepada siapa saja yang membaca buku itu, jika ada kelemahan dapat disampaikan ke kita," katanya menambahkan.

Ia mengakui kutipan dari kumpulan cerpen Gerhana yang ditulis Muhammad Ali tersebut terdapat kata-kata yang dianggap tidak pantas untuk disampaikan kepada peserta didik.

Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Mahsun, karya itu sudah lama beredar secara nasional karena diterbitkan penerbit nasional yaitu Pustaka Utama Grafiti tahun 1996. Karya itu, kata dia, bukan merupakan bagian yang dijadikan contoh pembahasan materi yang berhubungan dengan kompetensi dasar pada substansi buku yang ditulis Kemdikbud.

Ia mengatakan buku itu hanya sebagai contoh untuk latihan lebih lanjut yang ditempatkan pada lampiran. "Sesungguhnya dapat tidak digunakan karena guru dapat saja menugasi siswa untuk mencari cerita pendek sejenis yang pesannya relatif sama," katanya.

Musliar menyatakan, sejak implementasi Kurikulum 2013 pada Juli lalu pihaknya juga telah menerima berbagai masukan untuk perbaikan ke depannya. "Ada (masukan terhadap) buku-buku yang berasal dari pendidikan dasar," katanya.

Sebagaimana diketahui, dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia yang berjudul Wahana Pengetahuan terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di sekolah di Semarang ditemukan beberapa kata kasar dan makian.
Buku yang memuat materi Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama (SMP) tersebut kembali penghebohkan, pasalnya, kasus yang serupa telah berkali-kali terjadi.

Dalam buku itu tertulis kata 'Bangsat', 'Bajingan', dan kata-kata tidak pantas lainnya terdapat pada cerita pendek berjudul Gerhana karya Muhammad Ali. Cerita penuh nuansa kekerasan tersebut ada di halaman 225.

Sedikitnya ada enam SMP di Kota Semarang yang ditunjuk menerapkan buku baru tersebut tahun ini, yakni SMP Negeri 2, SMP Negeri 5, SMP Negeri 9, SMP Negeri 2, SMP Harapan Bunda, dan SMP Roudlotus Saidiyyah Semarang. [AntaraNews]