Friday, November 29, 2013

Guru Jangan Malu Belajar dari Murid

Mencetak sosok guru teladan bukan perkara yang mudah. Banyak faktor yang harus diperhatikan. Faktor tersebut diantaranya adalah sistem yang diterapkan pemerintah maupun dari personal si guru. Motivator pendidikan, Asep Sapa'at, menjelaskan bahwa menciptakan seorang baik yang baik harus adanya sebuah kebijakan visioner dari pemerintah. 

"Cara satu-satunya untuk membuat guru lebih beradab dan berdaya adalah kebijakan visioner. Dari hulu ke hilir dibenahi dan tidak boleh parsial," paparnya ketika berbincang dengan ROL, belum lama ini.

Asep menjelaskan juga harus adanya perekrutan dan pengelolaan yang benar serta tertata. "Rekrutlah pemuda terbaik dengan sistem pengelolaan yang terukur dan sistematis." terang Asep yang juga Direktur Sekolah Guru Indonesia (SGI) ini.

"Juga harus ada pemberian reward dan punishmen yang dilengkapai dengan data yang akurat, pengambilan kebijakan jangan like or dislike. Dengan ini bisa buat potret guru jadi lebih baik," tambahnya.

Selain itu, guna menciptakan guru yang baik juga harus dilihat dari sikap personalnya. Asep mejelaskan ada beberapa Intangible Value (nilai tak berwujud) yang harus dipenuhi. 

Yang pertama, kata dia, adalah niat. " Tujuan harus lurus, luruskan niat. Kalau niatnya cari penghidupan cuma akan dapat angin-angin surga, tapi yg niatnya menjadi guru untuk berbagi manfaaat kehidupan, kebahagian yang sebenarnya akan didapat akan didapat," jelasnya.

Lanjutnya, harus memiliki passion, khususnya didalam belajar mengajar. Ia menjelaskan bahwa seorang guru itu harus terus belajar, bahkan dari seorang murid sekalipun. 

Dan yang terakhir menurut Asep adalah mampu berdiskusi pada diri sendiri. Segi keimanan juga harus bagus, dengan mampu berdiskusi dengan diri sendiri terlebih lagi mengenai dari mana seseorang berasal dan kemana nantinya seseorang akan kembali akan mampu memepertebal baik. Semakin iman seseorang akan membuat seseorang menjadi baik. [ROL]

Tuesday, November 26, 2013

Mendikbud: Pendidikan Harus Maksimalkan Penggunaan TIK

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terus berupaya untuk merealisasikan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Untuk mewujudkan hal tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan membudayakan pemanfaatan TIK dalam proses belajar mengajar.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh saat peluncuran tryout online nasional, di SMAN 4, Denpasar, Bali. "Tiga hal utama yang harus disiapkan adalah pembudayaan pemanfaatan TIK, kemudian penyediaan dan penyempurnaan sarana prasaran, dan ketiga adalah kontennya," ujar Nuh.

Menurutnya, di era saat ini memang sudah sangat wajar jika pembelajaran berbasis teknologi. Dengan menggunakan teknologi, diharapkan akan tercipta kenyamanan dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah sarana prasarana serta infrastruktur pendukung akan teknologi tersebut masih terkendala, khususnya di daerah.

"Oleh karena itu perlu diciptakan IT minded. Setelah itu akan nyaman untuk apapun juga," imbuh mantan Menkominfo itu.

Dikatakan, saat ini pihaknya juga tengah merintis ujian berbasis teknologi. Salah satu hal yang telah dilakukan adalah dengan melakukan uji kompetensi  guru melalui sistem online. "Kita sedang rintis ujian berbasis elektronik," terangnya.

Namun, dirinya belum bisa menjanjikan apakah bisa ujian nasional (UN) juga dilakukan melalui sistem online atau berbasis elektronik. Pasalnya, belum semua daerah dan sekolah terjangkau fasilitas internet.

"Kalau kita terapkan UN berbasis IT pasti akan timbul pro dan kontra. Sekarang saja UN masih ada yang pro kontra, belum lagi soal sarana prasarananya," ungkap Mendikbud.

Lebih lanjut dirinya menjelaskan bahwa pihaknya telah mengambil keputusan untuk tetap melaksanakan UN. Pihaknya, sambung dia, memiliki keyakinan dan analisis akademik untuk tetap menjalankan ujian tersebut. "Analisisnya, jauh lebih bagus kita melakukan UN dibanding tidak menggunakan UN," tegasnya.

Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI, Zulfadli mengatakan, pihaknya masih akan mengundang kementerian untuk meminta evaluasi pelaksanaan UN tahun 2013. "Sampai sekarang belum ada evaluasi kepada komisi. Kami ingin melakukan evaluasi menyeluruh agar kejadian serupa seperti UN tahun ini terjadi lagi," ungkapnya.

Untuk itu dirinya mengatakan perlu adanya persiapan yang lebih matang. "Utamanya untuk masalah-masalah teknis," imbuhnya. [suaramerdeka/SMNetwork]

Wamendikbud: Guru sebagai Penentu Pendidikan Kerkualitas

Wakil menteri Pendidikan dan kebudayaan. 
Jakarta - Peserta didik di manapun berada dan apapun latar belakang sosial dan ekonominy berhak memperoleh pendidikan setinggi mungkin  yang terjangkau dan berkualitas.

"Guru dan tenaga kependidikan menjadi faktor penentunya, sehingga harus kita tingkatkan ketersediaan dan profesionalitasnya," kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan Musliar Kasim.

Wamendikbud mengemukakan hal itu saat membacakan sambutan tertulis Mendikbud Mohammad Nuh pada upacara peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2013 dan HUT ke-68 PGRI di Kemdikbud, Jakarta, Senin (25/11).

Tema peringatan HGN tahun 2013 dan HUT ke-68 PGRI ini adalah “Mewujudkan Guru yang Kreatif dan Inspiratif dengan Menegakkan Kode Etik untuk Penguatan Kurikulum 2013.”

Musliar mengatakan tantangan dan persoalan pendidikan yang dihadapi semakin berat, rumit, dan kompleks.

"Terutama dalam rangka mempersiapkan generasi 2045 pada saat 100 tahun Indonesia merdeka dan kejayaan Indonesia," katanya.

Sekarang ini, lanjut Musliar, Kemdibud sedang menata sistem pendidikan guru, pelatihan berkelanjutan, pelindungan, dan peningkatan kesejahteraan guru. Mendikbud juga memberikan dukungan penuh agar PGRI bisa menjadi organisasi profesi guru yang kuat.

"Kita semua berharap para guru dan tenaga kependidikan kita menjadi pembelajar dan pendidik sejati," katanya.

Musliar mengemukakan bahwa hanya dengan menjadikan guru sebagai pembelajar dan pendidik sejati maka  kurikulum 2013 untuk mempersiapkan generasi 2045 dapat diwujudkan.

"Mereka adalah generasi yang mampu berpikir orde tinggi, kreatif, inovatif, berkepribadian mulia, dan cinta pada tanah air, serta bangga menjadi orang Indonesia," katanya.

Untuk itu, prinsip yang saat ini dikembangkan adalah memberikan layanan pendidikan sedini mungkin (start earlier) melalui gerakan PAUD,  memberikan kesempatan bersekolah setinggi mungkin (stay longer) melalui pendidikan menengah universal (PMU), dan peluasan akses ke perguruan tinggi.

"Selain itu, kita perlu memperluas jangkauan dan menjangkau  mereka yang tidak terjangkau (rich wider) melalui program bantuan siswa miskin (BSM), Bidikmisi, dan sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (SM3T)," kata Musliar. [antaranews]

Friday, November 15, 2013

Mengkritisi Sekolah Favorit

Oleh : Asep Sapa'at
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

Kata ‘favorit’ meninggalkan kesan berbeda jika disematkan mengiringi kata sekolah. Ya, sekolah favorit, bahan diskusi yang menarik untuk diperbincangkan. Kata ‘sekolah favorit’ mencitrakan sesuatu yang hebat, elegan, mewah, dan sempurna. 

Kesuksesan dan prestasi gemilang menjadi jaminan mutu dan seolah melekat dalam status favorit yang disandang suatu sekolah. Namun di balik itu semua, saya tertarik menelisik apa makna dibalik kata sekolah favorit. Sekolah seperti apa yang layak difavoritkan masyarakat? 

Kadang kita selalu terjebak dalam menilai reputasi sekolah. Semua itu terjadi karena ukuran keberhasilan hanya bersifat populer di mata masyarakat, misalnya persentase kelulusan murid dalam Ujian Nasional, peringkat akreditasi sekolah, jumlah calon murid baru yang mendaftar, keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sains, jumlah piala yang dipajang di sekolah, dan fasilitas yang super fantastis.

Sedangkan pencapaian hasil berbobot edukasi masih jarang dievaluasi, seperti berapa banyak murid yang awalnya malas belajar berubah jadi rajin belajar, berapa banyak murid yang mengalami perubahan perilaku menjadi lebih baik, berapa banyak murid yang mampu berpikir kritis dan kreatif, serta berapa banyak murid yang memiliki kecakapan memecahkan masalah yang bermanfaat dalam kehidupan keseharian mereka. Tragisnya, kata ‘favorit’ masih cukup ampuh mengecoh sebagian besar masyarakat yang hendak mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah. 

Saya mesti berterima kasih kepada Reeves (2006). Siapakah dia? Reeves memiliki sebuah konsep pemetaan kondisi dan posisi sekolah dengan melakukan analisis terhadap 2 hal utama, yaitu analisis terhadap strategi dan tindakan penentu hasil yang sengaja dilakukan sekolah dan tingkat pencapaian hasil yang diraih sekolah. 

Strategi dan hasil pencapaian menjadi fokus utama sekolah dalam membangun reputasinya. Maka segera tanggalkan status ‘favorit’ jika suatu sekolah merasa punya prestasi tapi ternyata tidak melalui proses eksekusi strategi manajemen yang terencana baik.
Ada sekolah yang tampak baik dan punya pencapaian keberhasilan. Tapi jika ditelaah lebih jauh, sekolah seperti ini masih mengabaikan pentingnya kesadaran dan pemahaman atas strategi dan rencana tindakan penentu hasil yang efektif. Sekolah banyak diuntungkan karena memeroleh input siswa yang sangat berkualitas dengan orangtua berstatus sosial ekonomi menengah-atas. Tanpa strategi atau tindakan tertentu yang dirancang secara ‘sengaja’, sekolah sudah tampak berhasil dengan raihan prestasi yang ditorehkan murid dalam berbagai bidang.

Sebagai contoh, sekolah bisa berbangga karena cukup banyak muridnya yang berbahasa Inggris. Inti persoalannya, apakah murid mahir berbahasa Inggris karena hasil proses pembelajaran bahasa yang dirancang sekolah atau faktor les di luar sekolah? Sekolah boleh tercatat sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan 100% pada Ujian Nasional. Lantas, apakah capaian itu merupakan hasil proses pembelajaran yang berkualitas? Ataukah karena sebagian besar para muridnya dipersiapkan lembaga bimbingan belajar di luar sekolah? 

Inilah ‘sekolah beruntung’. Walau tanpa strategi dan tindakan efektif yang terencana, sekolah masih cukup sering memeroleh prestasi. Bolehlah sewaktu-waktu kita berharap keberuntungan. Tapi, sampai kapan kita terus mengandalkan keberuntungan? Jika tak mau ingkar proses, maka sekolah harus mulai menata strategi manajemen untuk meraih pencapaian keberhasilan sekolah. Karena jika pun berhasil, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan semakin kecil jika masih selalu berharap keberuntungan.

Lebih tragis dibanding ‘sekolah beruntung’, ‘sekolah kalah’ mengalami tingkat pencapaian keberhasilan yang rendah. Kegagalan meraih prestasi turut disumbangkan oleh faktor rendahnya pemahaman sekolah atas pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil. Kegagalan demi kegagalan sering dialami sekolah. Sikap menyalahkan aspek eksternal sekolah tampak lebih akrab dijumpai di sekolah ini. 

Mereka lebih fokus mengeluhkan masalah---Misal, kualitas murid-murid barunya yang semakin rendah, jumlah murid semakin berkurang, sulitnya merekrut guru berkualitas, sarana dan prasarana sekolah serba terbatas, banyak muridnya yang bermasalah dalam perilaku-- daripada mulai menata manajemen sekolah yang tanggap mengatasi persoalan yang tengah terjadi. 

Sekolah seperti ini belum memiliki pemahaman dan keterampilan menyusun strategi yang relevan dengan kondisi kekinian dan tuntutan zaman yang terus berubah dengan cepat. Lemahnya komitmen dan konsistensi dalam memperbaiki sistem jadi masalah utama ‘sekolah kalah’. Karena itu pula mereka layak digelari sekolah ‘madesur’, masa depan suram. 

Beda lagi dengan situasi yang terjadi di sekolah berstatus ‘belajar’. Mereka lebih memilih sikap untuk keluar dari keterbatasan yang menimpa sekolah. Sebanyak apapun persoalan yang menimpa sekolah, sebanyak itulah tantangan yang bisa dikelola untuk melahirkan perubahan menuju sekolah yang lebih baik. Sikap mental pemenang yang luar biasa. 

Karena jika pun sekolah lebih memercayai hal-hal negatif yang menimpa, bukankah kita hanya menambah beban dalam kehidupan sekolah? Maka, mulailah melangkah untuk membuat perubahan di sekolah.

Sekolah di kuadran ‘belajar’ mempunyai pemahaman tentang pentingnya strategi yang tepat dan rencana tindakan yang disusun berdasarkan data dan fakta, bukan sekedar intuisi tak berdasar. Semua elemen sekolah—Pengurus yayasan, kepala sekolah, guru, orangtua murid—benar – benar sadar untuk melakukan proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan perbaikan yang berkelanjutan.

Karena hanya dengan cara itu, cita-cita perubahan yang diidamkan sekolah bisa terwujud. Walau tingkat pencapaian keberhasilan belum optimal, namun tingkat pemahaman sekolah atas pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil sangat tinggi. Konsekuensinya, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan sangat besar.

Mungkinkah sekolah sederhana berlokasi di pelosok desa berpeluang menjadi sekolah nasional terbaik? Sangat mungkin. Syaratnya, konsisten menerapkan standar manajemen mutu yang memastikan pencapaian keberhasilan sekolah bisa diukur dan dievaluasi setiap waktu. Tak ada pihak yang meragukan prestasi dan reputasi sekolah karena semua sudah direncanakan dengan sangat baik. 

Apa yang terjadi di kemudian hari? Sekolah di kuadran ‘memimpin’ mengalami tingkat pencapaian hasil yang tinggi serta memiliki pemahaman yang tinggi pula terhadap pentingnya strategi dan tindakan penentu hasil yang efektif. Sama persis dengan sekolah di kuadran ‘belajar’, kemungkinan sekolah mengulang keberhasilan semakin besar.

Sekolah favorit perlu merenungi kembali sebuah pemikiran hebat bahwa kesuksesan adalah kegagalan. Mengapa demikian? Karena kita menjadi lebih mudah lupa diri ketika berada dalam kondisi sangat sukses. Kesuksesan pada kenyataannya mengembangkan rasa puas diri. Yang paling berbahaya dapat menimbulkan sikap arogansi. Ketika kita benar-benar sukses, sering kali kita jatuh cinta pada diri sendiri. 

Hal yang sama berlaku pada institusi bernama sekolah. Sekolah berhenti berinovasi, bekerja keras, mengambil resiko, dan mulai bersandar pada kesuksesan yang sudah diraih. Sekolah bisa jadi lebih defensif dan menghabiskan banyak energi untuk melindungi kesuksesan mereka, alih-alih mempertahankan hal-hal baik yang mengantarkan sekolah menuju puncak kesuksesan.

Sekolah adalah institusi terhormat yang musti mengedukasi masyarakat. Bukan menipu dan mengaburkan makna ‘favorit’ yang cenderung mengedepankan pencitraan secara sepihak. Jangan gunakan istilah ‘favorit’ untuk sekadar mengeruk keuntungan dari orangtua murid yang awam tentang makna tersebut. 

Berjuanglah menjadi sekolah di kuadran ‘belajar’ dan ‘memimpin’. Itulah cara terbaik membangun reputasi sebagai sekolah yang bisa melayani pendidikan formal bagi masyarakat. Ingatlah, kesuksesan adalah kegagalan. Agar tak merasa sudah di puncak kesuksesan, bertanyalah setiap saat, seberapa pantas sekolah kita digelari sukses dan terfavorit?

---
Sumber: [ROL/berita/pendidikan]

Sunday, November 10, 2013

Kurikulum 2013: Momentum Memuliakan Bahasa Indonesia


Oleh: Ibnu Hamad (Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud)

BAHASA Indonesia terus mendapatkan tempat yang terhormat; merentang dari sebagai pengantar pergaulan (lingua franca) hingga sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan (carrier of knowledge).

Tulisan singkat ini coba merekonstruksi ulang momentum-momentum yang menempatkan bahasa Indonesia dalam kedudukan yang mulia di tengah masyarakat Indonesia.

Sebagai lingua franca bahasa Melayu ketika itu sebelum menjadi bahasa Indonesia, sudah dipakai di Nusantara sejak 1500 sebelum Masehi. Digunakan untuk perdagangan dan hubungan politik. Dapatlah kita membayangkan bahwa pada masa itu para pedagang antar etnis di Nusantara memakai bahasa Indonesia (:bahasa Melayu) manakala melakukan aksi jual beli. Begitu pula utusan raja-raja di Nusantara berbicara dalam bahasa Indonesia (:bahasa Melayu) ketika melaksanakan hubungan diplomatik.

Sesungguhnya sebagai lingua franca bahasa Indonesia masih digunakan dalam masa kini 2000 setelah Masehi di negara kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Seperti dipaparkan dalam Wikipedia, bahasa Melayu dipakai di Indonesia sebagai bahasa Indonesia, Brunei sebagai bahasa resmi, Malaysia sebagai bahasa Malaysia, Singapura sebagai bahasa nasional dan Timor Leste sebagai bahasa kerja. Bahasa ini juga dipakai di Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, dan sebagian kecil Kamboja. Bahkan dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Papua Nugini, Pulau Christmas, Kepulauan Cocos, dan Australia

Ketika kesadaran Nasionalisme tumbuh, lingua franca bahasa Melayu menemukan fungsinya yang lain: menjadi bahasa pergerakan. Penggunaan bahasa Indonesia tidak lagi hanya sebagai alat percakapan antar aktivis, melainkan pula sebagai identitas politik, bahkan alat perjuangan. Bagi bangsa Indonesia, bukan hanya perlu Tanah Air sebagai tempat tinggal, tetapi juga bahasa sebagai alat pemersatu.

Maka kaum pergerakan melahirkan Sumpah Pemuda dengan memasukkan bahasa Indonesia sebagai salah satu unsurnya: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Itulah momentum pertama yang sangat menentukan perjalanan berikutnya bagi bahasa Indonesia dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Benar, Negara Indonesia! Sekalipun pada 28 Oktober 1928 itu bangsa Indonesia belum menyatakan kemerdekaannya, bahasa Indonesia sudah menjadi entitas psikografis Negara Indonesia setara dan sebangun dengan Tanah Air sebagai entitas geografis dan Bangsa untuk entitas demografisnya.

Semenjak itu, bahasa Indonesia semakin mantap menjadi bahasa politik kaum pergerakan. Terus berlanjut ke masa perjuangan kemerdekaan. Menarik, tokoh-tokoh terkemuka pejuang kemerdekaan Indonesia umumnya berpendidikan Barat (Belanda), namun mereka tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam menyampaikan gagasan dan perjuangannya baik dalam tulisan maupun percakapan. Ya, bahasa Indonesia; bukan bahasa Belanda; tidak pula dalam bahasa ibu mereka; tapi bahasa Indonesia!

Sebab itulah kita menjadi paham, mengapa di dalam UUD 1945 pasal 36 dinyatakan bahwa Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia. Rupa-rupanya tekad menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional itu sudah menjadi agenda para tokoh kemerdekaan kita hingga mereka memasukkannya kedalam dalam batang-tubuh UUD negara kita. Itulah momentum kedua yang menempatkan secara terhormat bahasa Indonesia dalam kehidupan kenegaraan Indonesia.

Di tengah kemajemukan bangsa kita, sudah sepatutnya berterima kasih pada kepada founding fathers kita yang telah menjadikan bahasa Indonesia dalam ketata-negaraan Indonesia. Hal itu telah menyelesaikan, memudahkan dan mencegah munculnya ragam masalah sosial yang diakibatkan oleh bahasa di tengah masyarakat kita.


Perlindungan Hukum

Momentum ketiga terkait dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009. Pada pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Bagian III tentang Bahasa Negara, UU ini mengatur dengan rinci mengenai posisi dan fungsi, pemakaian dan pengembangan, perlindungan dan upaya menginternasionalisasi bahasa Indonesia.

Kendati agak terlambat semenjak Kemerdekaan 1945 –UU tersebut diundangkan pada tanggal 9 Juli 2009-- pada akhirnya bahasa Indonesia mendapat penguatan di satu sisi dan pengaturan di sisi lain. Dengan adanya UU ini, bahasa Indonesia bukan hanya memperoleh pemuliaan secara politik dalam tata negara Indonesia, tetapi juga perlindungan hukum ketika dipraktikkan dalam kehidupan berbahasa bangsa Indonesia.

Betapa tidak, seperti lazimnya, dalam UU selalu ada hak dan kewajiban juga sanksi hukum. Tentu saja hal ini menguntungkan kita. Sebagai contoh, dalam pasal Pasal 37 ayat 1 dinyatakan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Alhasil, konsumen Indonesia dapat memahami informasinya secara lebih baik sehingga bisa menghindarkan diri dari efek samping suatu produk.

Sebagai bagian dari pemuliaan bahasa Indonesia, sesuai dengan amanat UU Nomor 24 tahun 2009, institusi yang menangani bahasa Indonesia pun diperbesar. Semula, lembaga yang mengurus bahasa Indonesia hanyalah pejabat eselon II yang diketuai oleh seorang Kepala Pusat Bahasa. Namun, semenjak tahun 2010, melalui Permendikbud mengenai organisasi Kemdikbud, lembaga Pusat Bahasa ditingkatkan menjadi Badan Bahasa. Ketuanya pun adalah Kepala Badan Bahasa, dengan jabatan eselon I yang kewenangannya sama dengan para Dirjen di bawah Mendikbud.

Bolehlah dikatakan, penguatan institusi Badan Bahasa ini merupakan momentum yang keempat dalam pemuliaan bahasa Indonesia. Dengan tugas dan fungsi yang lebih luas, kini Badan Bahasa bisa melaksanakan amanat UU Nomor 24 tersebut secara lebih leluasa karena anggarannya pun tentu lebih besar pula dibanding ketika masih Pusat Bahasa.


Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013

Akhinya, momentum paling anyar, yang kelima, dalam memuliakan bahasa Indonesia adalah dengan menjadikannya sebagai penghela ilmu pengetahuan (carrier of knowledge). Adalah Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan pertengahan 15 Juli 2013, yang menjadi pemicu dan pemacunya.

Seperti diketahui, Kurikulum 2013 untuk Sekolah Dasar (SD) tidak lagi berbasis mata pelajaran, melainkan berbasis tema baik tema alam, sosial, maupun tema budaya. Kendati disebutkan ada 6 (enam) mata pelajaran inti untuk SD kita (Agama, PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS), namun dalam pembelajarannya dilakukan secara tematik-terpadu. Materi pelajaran tidak disajikan dalam buku-buku mata pelajaran tetapi dalam bentuk buku tema-tema pelajaran. Tentu semua tema pelajaran itu bukan saja ditulis dalam bahasa Indonesia melainkan pula bahasa Indonesia dijadikan sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan (carrier of knowledge): Bahasa Indonesia tidak semata diajarkan sebagai ilmu pengetahuan tetapi dipraktikkan sebagai penghela ilmu pengetahuan.

Hal ini dilakukan karena Kurikulum 2013 dirancang untuk menyongsong model pembelajaran Abad 21, yang di dalamnya terdapat pergeseran dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu dari berbagai sumber belajar melampaui batas pendidik dan satuan pendidikan. Karenanya peran bahasa menjadi sangat sentral. Karenanya bahasa harus berada di depan semua mata pelajaran lain.

Untuk Kelas VII SMP/MTs Bahasa Indonesia diperlakukan sebagai wahana pengetahuan. Didalamnya dijelaskan berbagai cara penyajian pengetahuan dengan berbagai macam jenis teks. Sedangkan untuk SMA/SMK/MA Kelas X Bahasa Indonesia ditempatkan sebagai wahana untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran. Untuk itu siswa diharapkan mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya.

Dalam pembelajaran bahasa yang berbasiskan teks, bahasa Indonesia diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang berfungsi untuk menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya akademis. Teks dimaknai sebagai satuan bahasa yang mengungkapkan makna secara kontekstual.

Dikatakan dalam prawacana buku bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 tersebut bahwa pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks dilaksanakan dengan menerapkan prinsip bahwa (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena dalam bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia.

Dengan adanya momentum-momentum tersebut, sejak sebagai lingua franca hingga carrier of knowledge, eksistensi kemuliaan bahasa Indonesia tentu terus dapat kita rasakan. Tentu kemuliannya itu akan semakin tinggi lagi jika momentum yang satu ini terjadi: bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa internasional. Bukan hal yang mustahil terjadi: kita tunggu saatnya tiba nanti.

----
Sumber: [nasional/inilah]

Wednesday, November 6, 2013

Perubahan Ujian Nasional untuk Kurikulum 2013 masih Dikaji

Anggota Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Teuku Ramli Zakaria mengatakan perubahan Ujian Nasional (UN) untuk Kurikulum 2013 masih dikaji. Ia mengatakan kajian perubahan tersebut dimulai tahun ini hingga tahun penyelenggaraannya yakni 2016.

"UN untuk Kurikulum 2013 diselenggarakan tahun 2016 bukan 2015. Jadi 2016 akan ada UN yang sesuai dengan Kurikulum 2013," katanya dihubungi Rabu (6/11).

Teuku menuturkan pengkajian UN 2016 tersebut akan diintensifkan pembahasannya tahun depan. Saat ini, menurutnya, mulai dibicarakan bagaimana konsepnya dan unit kerja penyelenggaranya. Teuku mengatakan UN pada tahun ajaran 2015-2016 nanti akan ada perbedaan dengan UN tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan materi kurikulum dan penekanan materi.

Ia mengungkapkan pada Kurikulum 2013 lebih menekankan penilaian sikap dari pada kognitif (pengetahuan). Untuk penilaian sikap tersebut diserahkan pada guru karena guru yang berinteraksi langsung dengan peserta didik sehari-hari. Sedangkan untuk penilaian aspek kognitif, kata dia, tetap menggunakan UN.

"Aspek kognitif pada Kurikulum 2013 perlu diuji. Dan instrumen yang tepat untuk mengujinya adalah UN," katanya.

Teuku mengatakan soal UN terkalibrasi. Hasilnya pun berupa angka yang dapat diperbandingkan. Jika UN dihapuskan maka akan sulit untuk membandingkan kualitas peserta didik.

"Untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu ada instrumen ujian yang terkalibrasi artinya dapat dibandingkan. Dengan UN pencapaian pendidikan dapat dibandingkan dan diukur," ujarnya.

Teuku menyatakan soal UN Kurikulum 2013 nantinya dibuat berdasarkan apa yang siswa temukan, siswa lakukan, dan siswa amati. Menurut dia, soal UN yang diujikan sesuai pengalaman belajar peserta didik.

"Jadi bukan sekedar menguji hafalan mereka saja," ujarnya.

Untuk bentuk soal, lanjut Teuku, kemungkinan tetap pilihan ganda bukan esai. Hal ini dikarenakan jumlah peserta UN yang banyak dan lingkup materi yang diujikan cukup luas. 

"Ini untuk memudahkan dan mengefisienkan waktu pemeriksaan jawaban UN," kata dia.

Teuku mengungkapkan jika soal UN 2016 berbentuk esai, dikhawatirkan  tidak terkoreksi dengan benar dan akan memakan waktu lebih lama dalam pemeriksaan. 

"Soal esai itu cocok jika jumlah peserta dan ruang lingkup ujian sedikit," jelasnya.

Namun, lanjutnya, dalam soal pilihan ganda UN Kurikulum 2013, soal yang ditanyakan yaitu pertanyaan-pertanyaan yang berdasarkan pengalaman belajar siswa dan menguji daya nalar siswa.

"Soal pilihan ganda UN 2016 akan dikompilasikan dengan soal-soal yang tidak hanya menguji hafalan saja," katanya.

----
Sumber: ROL

Kemendikbud akan Ubah Pola Ujian Nasional pada 2015

Surabaya - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan mengubah pola ujian nasional (UN) pada 2015, karena saat itu semua jenjang pendidikan sudah menerapkan Kurikulum 2013.

"Pola UN tidak mungkin diubah sekarang, karena siswa pelaksana Kurikulum 2013 masih belum menjadi peserta UN," kata Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media, Sukemi, di Surabaya, Selasa (5/11).

Di sela-sela focus group discussion (FGD) tentang Kurikulum 2013 dan UN yang diikuti akademisi, praktisi pendidikan, pers, dan pegiat jaringan penulis artikel, ia menjelaskan UN sebagai standar evaluasi akan tetap ada. Hal itu merujuk pada standar evaluasi yang selalu ada pada semua jenis kurikulum pendidikan dan UN juga merupakan amanat UU Sisdiknas yang dapat menjadi ukuran untuk pembanding standar pendidikan dengan negara lain.

"Tapi, pola UN bisa jadi akan disesuaikan dengan Kurikulum 2013 pada saat seluruh siswa sudah menerapkan Kurikulum 2013, sedangkan Kurikulum 2013 saat ini hanya diterapkan pada siswa kelas 1 dan 4 SD, kelas 1 (VII) SMP, dan kelas 1 (X) SMA," paparnya.

Dalam diskusi yang juga diikuti mantan Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitang) Kemdikbud Hari Setiadi itu, ia mengaku belum bisa merinci bentuk perubahan pola UN itu. "Yang jelas, UN saat ini dipakai pemerintah untuk empat fungsi, yakni pemetaan, syarat kelulusan, syarat melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, dan intervensi kebijakan. Pemetaan dan  intervensi kebijakan itu bisa dilakukan kalau ada UN," ujarnya.

Misalnya, ada SMA di Jakarta dengan hanya lima siswa yang semuanya tidak lulus UN, lalu Kemendikbud melakukan intervensi dengan kebijakan merger. "Atau, SMA di NTB yang jeblok pada mata pelajaran Bahasa Inggris, ternyata sekolah itu tidak memiliki guru Bahasa Inggris dan pengajar Bahasa Inggris justru guru bidang studi lain, lalu kami beri guru Bahasa Inggris," katanya.

-----
Sumber: ROL