Friday, October 31, 2014

Akses Pendidikan yang Berkeadilan

Salah satu tekad yang ingin diraih Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Anies Baswedan adalah memberikan akses pendidikan bagi semua putra putri Indonesia secara berkeadilan. Akses pendidikan yang berkeadilan diyakini sebagai salah satu kunci yang bisa membawa kemajuan Indonesia.

Tekad ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, Mohammad Nuh, juga mempunyai fokus yang sama. Selama kepemimpinannya, hampir semua program diarahkan untuk memberikan akses pendidikan yang merata dan berkeadilan.

Pendidikan dasar sembilan tahun, misalnya, kembali ditegaskan menjadi sesuatu yang wajib bagi seluruh anak Indonesia. Karena itulah dikucurkan biaya operasional sekolah (BOS) sehingga orangtua siswa tidak harus membayar saat anaknya mengikuti pendidikan dasar, dan sekolah pun tidak boleh melakukan pungutan.

Khusus untuk siswa dari keluarga tidak mampu secara ekonomi dikucurkan dana bantuan siswa miskin (BSM) yang besarnya Rp 450.000 per tahun bagi siswa SD, Rp 750.000 bagi siswa SMP/MTs, serta Rp 1 juta per tahun bagi siswa SMA/SMK/MA. Jumlah penerimanya pada tahun 2014 ini sekitar 13,5 juta siswa di semua jenjang pendidikan, dengan anggaran yang dikucurkan pemerintah pada tahun 2014 sebesar Rp 6,09 triliun.

Agar siswa dari keluarga miskin bisa mengenyam pendidikan tinggi, semua perguruan tinggi negeri diwajibkan mengalokasikan 20 persen kursinya untuk calon mahasiswa miskin. Kebijakan ini juga disertai penyediaan beasiswa pendidikan bagi mahasiswa miskin berprestasi atau Bidikmisi yang besarnya Rp 1 juta per bulan. Jumlah penerima beasiswa ini sekitar 150.000 mahasiswa yang tersebar di sejumlah perguruan tinggi.

Kebijakan yang fokus pada akses pendidikan berkeadilan ini, hasilnya selama empat tahun cukup nyata. Angka partisipasi kasar (APK) SD sederajat tahun 2009, misalnya, 95,23 persen dan tahun 2013 naik menjadi 95,80 persen.

Angka partisipasi kasar SMP naik dari 74,52 persen menjadi 79,06 persen pada periode yang sama, sedangkan APK SMA sederajat naik dari 69,6 persen menjadi 81,26 persen pada periode yang sama. Begitu pun APK perguruan tinggi untuk usia 19-23 tahun naik dari 21,60 persen pada tahun 2009 menjadi 29,87 persen pada tahun 2013.

Kebijakan ini disertai pula dengan program pembangunan satu PAUD (pendidikan anak usia dini) di setiap desa, serta pendidikan menengah universal yang dikenal dengan rintisan wajib belajar 12 tahun. Kemdikbud juga mendirikan sejumlah perguruan tinggi negeri di daerah terpencil dan perbatasan untuk memudahkan masyarakat mengakses pendidikan tinggi yang selama ini hanya berada di perkotaan.

Melihat capaian-capaian yang diklaim pemerintahan sebelumnya, tidak salah jika pada masa Anies Baswedan tidak cukup hanya memfokuskan program pada akses pendidikan yang berkeadilan.

Sudah saatnya program tersebut ditingkatkan dengan meningkatkan mutu pendidikan. Sebab, mutu pendidikan Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain, dan mutu pendidikan pula yang diyakini bisa membawa kemajuan Indonesia. (Kompas/Try Harijono)

UII Yogyakarta Galang Kepeduliaan untuk Pendidikan di Palestina

Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menaruh perhatian serius terhadap persoalan kemanusiaan dan pendidikan yang terjadi di bumi Palestina.

"Untuk itu, Universitas Islam Indonesia (UII) akan menyelenggarakan kegiatan bertajuk 'Tour Promo Raef and Talkshow: School for Gaza' di Auditorium Kahar Muzakkir Kampus Terpadu UII Yogyakarta, 3 November 2014," kata Rektor UII Harsoyo di Yogyakarta, Jumat (31/10).

Menurut dia, "talkshow" akan mengangkat tema Urgensi Peran Pendidikan di Palestina dalam Membangun Perdamaian, dengan menghadirkan narasumber di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum UII Mahfud MD, General Manager Dompet Dhuafa Prima Hadi Putra, dan penyanyi dari Amerika Serikat (AS) Raef.

"Raef juga akan menampilkan sejumlah lagu untuk peluncuran album pertamanya, sekaligus memberikan ajakan kepada generasi muda Indonesia untuk meningkatkan kepedulian kepada sesama generasi muda di Gaza," katanya.

Ia mengatakan kehadiran Raef di UII juga merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan "tour promo Raef" di Indonesia. Sebanyak 15 persen dari keuntungan penjualan albumnya akan didonasikan dalam program "School for Gaza".

Program itu merupakan bentuk kerja sama antara UII, Dompet Dhuafa, First Travel, Warner Music Indonesia, Majalah Manasik, Awakening Records, dan DNA Production.

"Program 'School for Gaza' akan dilaksanakan mulai Oktober hingga Desember 2014. Setelah itu dana yang terkumpul akan segera digunakan untuk renovasi minimal lima sekolah di Palestina," katanya.

Selain program "School for Gaza", kata dia, kepedulian UII terkait persoalan kemanusiaan di Palestina sejatinya telah beberapa kali dilakukan di antaranya pelaksanaan diskusi dengan menghadirkan Maher Zain pada November 2013 dan seminar bertema "Tinjauan Kritis Konflik Palestina dan Tragedi Gaza" pada Agustus 2014. (ROL)

Wednesday, October 29, 2014

Mendikbud, Anies Baswedan Bakal Evaluasi Tiga Hal Ini

Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengajak jajarannya untuk memperbaiki kekurangan di tiga bidang.

"Namun dari itu semua yang terpenting adalah kerja," katanya saat acara serah terima jabatan, Selasa (28/10).

Guna meningkatkan kemajuan di bidang pendidikan bangsa, ia siap mengevaluasi tiga kebijakan besar bidang pendidikan. Kebijakan tersebut antara lain, pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Kurikulum 2013 dan sertifikasi guru. 

"Kebijakan evaluasinya seperti apa,  belum dapat saya katakan sekarang. Namun memang sudah ada masukan dari tim transisi yang harus  dikoordinasikan dulu dengan jajaran Kemendikbud, yang jelas ini harus segera dilakukan,"ujar Anies.

Tiga kebijakan tersebut, terang Anies, merupakan hal yang sering menjadi perhatian. Sebab kebijakan tersebut sering menjadi pro dan kontra dan pembicaraan  di masyarakat.

Anies juga akan memperhatikan masalah  pemerataan akses  dalam dunia pendidikan sebab hingga saat ini masih banyak anak yang belum mendapatkan akses pendidikan bermutu di seluruh Indonesia. Padahal setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Berdasarkan rapat yang dilaksanakan dengan Presiden Jokowi, kata Anies, disebutkan dan ditegaskan pentingnya meningkatkan kemakmuran yang berkeadilan. Makanya setiap kementerian harus berorientasi pada nilai-nilai keadilan yang tinggi bagi seluruh masyarakat.

Ini, ujar Anies,  kalau diartikan  ke dalam  pendidikan adalah akses pendidikan yang berkeadilan dan merata. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan. (ROL)

Inilah Kunci Rahasia Muhammad Yasra Sang Juara Matematika Dunia, Shalat Malam

Satu lagi putra bangsa kembali menorehkan prestasi membanggakan di kancah internasional. Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Mohammad Yasya Bahrul Ulum berhasil membawa pulang medali emas dalam International Mathematics Competition (IMC) for University Student 2014.

Yasya mampu menyisihkan 324 peserta dari 44 negara di ajang bergengsi tersebut. Dalam kompetisi ini, para peserta diminta memecahkan masalah dalam bentuk esai. Bidang yang dikompetisikan adalah aljabar, analisis, geometri dan kombinatorik.

Peserta diberikan lima soal yang disajikan dalam bahasa Inggris setiap harinya. Waktu untuk mengerjakannya adalah selama dua hari. ''Setiap harinya diberikan alokasi waktu satu jam,'' kata Yasya dikutip Dream.co.id dari laman ITS.ac.id, Selasa 12 Agustus 2014.

Meski sempat merasa minder, Yasya terus mengerjakan soal dengan usaha terbaiknya. Ia mengaku, secara keseluruhan ada tiga soal yang belum bisa ia jawab dengan benar. ''Saya tidak bisa mengerjakan soal bagian kombinatorik, cukup susah,'' akunya.

Meski begitu mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ini berhasil memperoleh selisih nilai 30 poin dari grand first prize dan menempatkannya dalam posisi emas.

Shalat Malam, Rahasia Sang Juara Matematika Dunia

Dengan perolehan itu, ia berhasil unggul dari pesaing lain yang berasal dari perguruan tinggi ternama di dunia, seperti Universitat Bonn di Jerman, Yale University di Amerika Serikat, University of Gottingen di Jerman, Moscow Institute of Physics and Technology di Rusia, University College London, Universidad Nacional Autonoma de Mexico, University of Illinois at Urbana Campaign serta Nanyang Technological University Singapura.

Dari keseluruhan lawan, Israel menurut Yasya tetap menjadi lawan terberatnya. ''Peraih first grand prize berasal dari Israel,'' ujarnya.  Seperti dikutip dari laman resmi IMC, Israel menempatkan lima mahasiswanya di posisi emas, sehingga berhasil meraih juara umum. Sedangkan Yasha menjadi satu-satunya peraih emas dari enam delegasi lain yang dikirim Indonesia dalam kompetisi ini.

Atas prestasi tersebut, Yasya dianugerahi beasiswa Olimpiade Sains Internasional (OSI) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia hingga studi doktoral di seluruh perguruan tinggi di dunia.

Saat ditanya rencana studi magisternya, Yasya mengaku menginginkan kuliah di Jurusan Matematika ITB. ''Saya ingin mempersiapkan dulu kemampuan Matematika saya di ITB, baru ke luar negeri,'' ujarnya.

Prestasi ini memang bukan kiprah pertama bagi Yasya dalam olimpiade Matematika. Ia memiliki catatan prestasi gemilang dalam kompetisi yang membutuhkan ketelitian tinggi ini. Sejak SMP, putra pasangan Imam Chumaedi dan Shofiyah ini telah beberapa kali menjuarai OSN.

Ternyata kesuksesan Yasya di ajang olimpiade Matematika tidak hanya karena ketekunannya dalam belajar dan berlatih soal. Ia selalu menyempatkan diri untuk shalat malam setiap harinya.

Menurutnya, rutinitas tersebut ia lakukan untuk membangun mental positifnya. ''Kita bisa intropeksi diri dan memperkuat semangat serta motivasi,'' kata pemuda yang saat ini berumur 20 tahun itu.

Mahasiswa yang hobi bermain games dan olahraga futsal ini berpesan kepada mahasiswa dan para pelajar lainnya untuk tidak bermalas-malasan dalam belajar.

Menurutnya, pemuda adalah generasi masa depan yang menjadi penentu kemajuan Indonesia. ''Kalau bermalas-malasan, ya negeri kita akan bobrok,'' pesan dia. (Dream)

Monday, October 27, 2014

Ditjen Pendidikan Tinggi Bergabung dengan Kementerian Riset dan Teknologi

Wacana perubahan dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), ternyata sempat menjadi isu yang mengagetkan pegawai negeri sipil di kementerian itu. Namun, setelah benar-benar terealisasi, hal itu justru menjadi suatu kebanggaan.

"Awalnya sempat pada terkejut. Tapi di satu sisi bangga juga, berarti ada sesuatu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan SDM dari SD sampai SMA," ujar Luthfi, seorang staf Ditjen Pendidikan Dasar Kemendikbud, Senin (27/10/2014).

Menurut Luthfi, dengan pemisahan antara pendidikan dasar dan tinggi, fokus pemerintah terhadap dunia pendidikan, kini menjadi hal yang utama. Ia berharap, pemisahan tersebut nantinya dapat meningkatan pemerataan sumber daya manusia, tidak hanya di kota besar, tetapi juga di pelosok daerah terpencil.

Sementara itu, Rika, seorang staf pelestarian cagar budaya dan permusiuman Kemendikbud, menilai, pemindahan Ditjen Pendidikan Tinggi ke Kementerian Riset dan Teknologi,  memiliki dampak positif. Hal positif tersebut misalnya, mengenai anggaran.

Selama ini, menurut Rika, alokasi anggaran yang jumlahnya cukup besar, masih sering terkendala. Akibatnya, program-program yang dibuat juga seringkali terkendala.

"Itu bagus, jadi untuk anggaran bisa lebih dirinci lagi. Kalau jadi satu memang agak susah," kata Rika.

Sebagai salah satu staf di bidang kebudayaan, Rika juga berharap agar pemisahan tersebut dapat lebih memfokuskan upaya pemerintah terhadap pemeliharaan cagar budaya yang terdapat dalam musium.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo akhirnya memindahkan Ditejen Pendidikan Tinggi ke dalam Kementerian Riset dan Teknologi. Adapun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang sebelumnya diusulkan menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, tidak mengalami perubahan nama kementerian, atau nomenklatur. (Kompas)

Zulkieflimansyah, Anggota DPR Ini Bangun Universitas Teknologi Sumbawa

Anggota DPR RI Zulkieflimansyah mendirikan universitas yang berbasis teknologi di kampung halamannya sendiri, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Namanya Univeritas Teknologi Sumbawa (UTS).

Universitas Teknologi Sumbawa baru berdiri dua tahun lalu tapi mampu mengirimkan delapan mahasiswa-mahasiswinya mengikuti kompetisi bioteknologi tingkat dunia yang akan dilangsungkan di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Boston, Amerika Serikat.

“Tentu dengan ikut kompetisi bioteknologi tingkat dunia menjadi suatu hal yang baru dan sebuah kebanggaan bagi kita, terutama bangsa Indonesia meskipun UTS Sumbawa baru berumur setahun jagung,” kata Rektor UTS Sumbawa, Zulkieflimansyah kepada ANTARA News, Jakarta, Senin.

“Saat ini mahasiswa UTS Sumbawa tidak hanya berasal dari NTB semata, tapi juga berasal dari Sumatera, Jawa, Halmahera, Kalimantan. Mudah-mudahan dimasa yang akan datang, Indonesai Timur jadi Centre of Study, pusat studi tidak lagi berpusat di Jawa. Itu salah satu alasan saya mendirikan UTS Sumbawa,” kata Zulkieflimansyah.

Ia menceritakan, masalah teknologi selama 10 tahun ini sepertinya terabaikan dan hampir tidak  disebut-sebut.

"Yang dikedepankan selalu masalah penegakan hukum, ekonomi. Padahal teknologi adalah elemen kunci untuk kesinambungan pembangunan dan mensejahterakan rakyat. Inti dari ekonomi itu adalah teknologi dan industri, bukan di keuangan," katanya.

Alasan lain yang menjadikannya untuk mendirikan UTS Sumbawa berbasis teknologi adalah tidak adanya keinginan pemerintah untuk menampung atau memberdayakan orang-orang yang memiliki kemampuan dibidang teknologi saat selesai menjalani pendidikan di luar negeri.

“Kita kasih wadahi dengan menjadi dosen, wakil rektor dan lain sebagainya. Mudah-mudahan mereka bisa mengoptimalkan kemampuan mereka, jaringan mereka untuk membangun. Dan ini terbukti, salah satu peneliti terbaik Indonesia, Arif Witarto, jadi dekan fakultas bioteknologi UTS Sumbawa,” kata Zul.

Keikutsertaaan mahasiswa UTS ini memang sengaja memilih bioteknologi karena mahasiswa ingin mengangkat potensi yang ada di Sumbawa, yakni Madu Sumbawa. Madu Sumbawa sudah terkenal dan bisa dijadikan sebuah riset dengan mengkombinasikan bakteri E-coli dan terumbu karang. “Ini belum pernah ada dan saya rasa, riset ini satu-satunya di dunia,” kata Zul. (ROL)

Lima Guru Besar Mengisi Kursi Kementerian di Kabinet Kerja

Lima  Guru Besar mengisi kursi kementerian pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Mereka adalah Pratikno sebagai Menteri Sekretaris Negara, Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan, Nila Djuwita Anfasa Moeloek sebagai Menteri Kesehatan, Muhammad Nasir sebagai Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta Yohana Susana Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Sosiolog sekaligus Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, mengatakan pertimbangan Presiden untuk memilih Guru Besar menjadi menteri adalah suatu yang wajar.

"Kalau jumlah Guru Besarnya berkisar antara tiga sampai lima orang, saya kira itu wajar. Saya juga melihat riwayat akademis Guru Besar tersebut sudah sesuai dengan kementerian yang dijabatnya," kata Paulus saat dihubungi Antara di Jakarta, Senin.

Pakar sosiolog itu mengatakan beberapa Guru Besar yang dijadikan menteri tepat sasaran, salah satunya Pratikno. Ia menilai penunjukan Pratikno sebagai Menteri Sekretaris Negara sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Berbagai sumber menyebutkan, Pratikno yang lahir di Bojonegoro pada 13 Februari 1962 ini menyelesaikan studi sarjananya di Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Gadjah Mada (1985), program master di Development Administration Universitas Birmingham, Inggris (1990), dan program doktor di Ilmu Politik UGM (2008).

Pria yang baru saja terpilih sebagai Rektor (UGM) Yogyakarta pada Maret 2012 itu juga meraih gelar Profesor bidang Ilmu Politik dari UGM pada Desember 2008 serta gelar doktor di Flinders University of South Australia jurusan Asian Studies (1997).

Selain Pratikno, Guru Besar yang juga menjabat sebagai rektor ialah Muhammad Nasir. Nasir pun baru saja terpilih sebagai Rektor Universitas Diponegoro, Semarang, namun dirinya belum sempat menjalani pelantikan yang rencananya digelar pada 18 Desember 2014.

Pria kelahiran 27 Juni 1960 (54 tahun), Ngawi, Jawa Timur ini juga menyandang gelar profesor di bidang "Behavioral Accounting dan Management Accounting." Nasir menyelesaikan S1-nya di Undip, kemudian S2-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan meraih gelar PhD-nya di University Sains Malaysia tahun 2004. Selain Pratikno dan Muhammad Nasir, gelar Guru Besar juga disandang oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Bambang sebelumnya menjadi Wakil Menteri Keuangan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II era pemerintahan Presiden SBY. Di Kabinet Kerja ini, Bambang dipercaya untuk mengisi posisi puncak Kementerian Keuangan menggantikan Muhammad Chatib Basri. Putra bungsu (alm) Soemantri Brodjonegoro ini dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi UI dan tercatat sebagai satu-satunya dekan di institusi tersebut yang usianya masih di bawah 40 tahun saat diangkat.

Bambang mengenyam pendidikan sarjana di Ekonomi Pembangunan dan Ekonomi Regional Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1990), tingkat master di Universitas Illinois, Amerika Serikat, sekaligus melanjutkan program doktoral di universitas yang sama hingga 1995. Selain Menteri Keuangan, jabatan Menteri Kesehatan pada Kabinet Kerja 2014-2019 juga diisi oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, yakni Nila Djuwita Anfasa Moeloek.

Dokter yang ahli dibidang oftalmologi atau ilmu penyakit mata ini mengawali pendidikannya di FKUI Jakarta kemudian melanjutkan studi di bidang ophtalmology dan berhasil meraih gelar spesialis mata (SpM) enam tahun berikutnya. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (Perdami) tersebut juga pernah belajar subspesialisasi di International Fellowship di Orbita Centre, University of Amsterdam, Belanda dan di Kobe University, Jepang. Nila Moeloek bukanlah satu-satunya wanita bergelar Guru Besar yang menjabat menteri.

Selain dia, Yohana Susana Yembise ialah wanita bergelar Guru Besar asal Papua yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Yohana adalah wanita Papua pertama yang diberi gelar Guru Besar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai profesor doktor bidang silabus desain dan "material development". Wanita kelahiran Manokwari, 1 Oktober 1958 ini dikukuhkan menjadi profesor doktor oleh Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Papua. Yohana menempuh pendidikan sarjana pada program studi bahasa Inggris Universitas Cenderawasih. Semasa kuliah, dia bekerja sebagai asisten dosen di program studi yang digelutinya selama tiga tahun yakni sejak 1983-1986 kemudian enjadi dosen sejak 1987 sampai sekarang. (ROL)